"Kamu mau pulang sekarang? Apa kesehatanmu sudah membaik, Zy? Ibu cemas, kalau kamu masih sakit, tinggal di sini beberapa hari saja. Biar Atha pulang ke Tangerang sendiri dulu," ujar Ibu saat menyempatkan pulang untuk melihat keadaan menantunya di rumah.
Ternyata, di rumah sepertinya bukan menjadi apa yang diinginkannya. Ibu cemas karena Enzy tampak sudah bersiap pulang ke Tangerang, padahal kemarin menantunya sedang tidak sehat.
"Aku mau istirahat di rumah saja, Bu. Kalau aku di sini, nanti Ibu bisa repot, Arvin sama Ismi juga mau pulang, kan? Aku akan baik-baik saja di rumah," jawab Enzy. Sepertinya hanya memberi alasan agar dia bisa pulang. Sebab dia tidak akan berkata begitu jika dalam keadaan normal.
"Tapi di sana--"
"Apa Ibu membutuhkan jasa asisten rumah tangga? Ismi punya bayi kembar, bagaimana kalau aku kasih satu asisten di rumah untuk bantu-bantu di sini. Ibu mau?"
"Apa kau serius?"
Enzy mengangguk pelan. Kemudian memeluk ibu cukup erat dan lebih lama dari biasanya, dia seperti ingin menangis, tetapi nyatanya tetap bertahan dengan kebisuannya. Masalah semalam tidak diceritakan kepada siapa pun, dan Enzy masih mengabaikanku.
"Aku sayang Ibu," ujar istriku dengan masih memeluk Ibu.
"Enzy, apa kamu menangis? Kenapa kamu sedih, Nak? Coba ceritakan dulu sama Ibu sebelum kalian pulang," ujar Ibu yang melepaskan pelukannya lebih dulu.
"Aku cuma senang dapat ibu sebaik Ibu Anika. Kalau saja mamaku masih ada, mama pasti akan sebaik ini sama aku."
"Mamamu pasti orang yang sangat baik, terbukti dia melahirkan seorang putri yang sangat manis dan cantik. Kamu jangan sungkan ke ibu, ya, ceritakan semua masalah kamu ke ibu. Insya Allah Ibu akan mendengarkan keluh kesahmu." Ibu Anika mengusap bahu Enzy, tampak kasih sayang tulus dari setiap tutur katanya, juga perilakunya kepada Enzy.
Entah seperti apa hubungan antara Enzy dan Ibuku sebelum kami menikah, Ibu selalu saja memanjakannya layaknya Enzy adalah putri kandung sendiri.
Astagfirullah, kenapa dengan keadaan ini?
Takdir seakan-akan sedang mempermainkan kehidupanku. Cinta yang selalu saja mendekat dengan jalan mulus ini nyatanya tidak melulu membawaku bersama dengan Enzy.
Sampai kami melakukan perjalanan, Enzy masih diam saja. Pandangannya begitu kosong ke arah luar kaca jendela mobil. Apa sebegitu sedihnya dia dengan perpisahan yang kurencanakan? Tidak ... aku bahkan belum mengatakannya. Sebab segala keputusan ada di tangan Enzy sendiri.
"Apa kau haus? Aku akan menepi dan membeli minuman dingin di depan," ujarku ingin menghentikan keheningan kami.
"Tidak mau minum."
Aku terdiam.
Beberapa saat kemudian, kulihat ada sebuah minimarket di seberang jalan. Sengaja ku belokkan mobil menuju ke arahnya, membeli minuman dingin dan sesuatu yang tidak akan ditolak oleh Enzy.
Sekembalinya ke mobil, aku menyodorkan sebungkus es krim rasa cokelat kegemarannya.
"Kau mau ini?"
"Tidak mau!" Enzy bersuara keras, tetapi sesekali kulihat bola matanya memutar ke arah es krimnya.
"Tidak mau? Aku cuma membeli satu, kau tidak akan menyesal kalau ini kumakan sendiri?"
"Tidak."
"Hemh, baiklah--" Kubuka bungkus es krimnya, memakan es berlapis cokelat itu segigit kecil. Namun, raut wajah masam Enzy mencuat dan malah cemberut kecil menatapku. "Apa yang kau lihat?"
"Kenapa dimakan es krimnya?" tanya Enzy.
"Kau bilang tidak mau. Jadi kumakan."
"Aku bilang tidak mau, bukan berarti tidak mau. Itu artinya aku mau ... kenapa sih, Kakak tidak pernah peka ke aku?!"
"Hah?" Aku terpenganga, sedikit bingung dengan ucapannya. Bukannya tadi dia bilang tidak mau? Kenapa malah berubah arti dan aku yang salah sekarang?
"Kalau mau kasih yang ikhlas, dong." Enzy merebut es krim di tanganku, memakannya tanpa mempedulikan apa pun, termasuk keheranan suaminya atas tingkah yang satu ini.
Aku benar-benar menikahi anak-anak.
"Kau masih marah padaku, hmh?" tanyaku saat dia masih asyik memakan es krimnya.
"Iya."
"Kenapa?"
"Karena Kakak menyebalkan. Kakak itu kalau tidak bahas wanita lain, pasti bahas menikah lagi, kenapa coba? Memangnya aku kurang cantik? Reina itu juga tidak cantik, masih cantikan aku ke mana-mana! Tapi Kakak tetap saja tanya izin aku buat menikah lagi."
"Aku semalam tidak ingin membahas wanita lain, Zy--"
"Tapi Kakak mau meninggalkanku!" Suara Enzy mengeras seraya menatapku denga kedua matanya yang basah. "Kakak serius mau pisah sama aku? Kakak tidak mau melihatku lagi terus mau menikah sama wanita lain?"
"Aku tidak berniat meninggalkanmu. Aku hanya bertanya karena kau terus menggantungku dengan keinginanmu, Zy."
Enzy terdiam, air matanya terjatuh lagi dan lagi saat menatapku. Mungkin karena menyadari bahwa dia tidak sedang bermain sendirian. Pernikahan yang baru seumur jagung milik kami terus berada di jalan buntu, tanpa ada harapan bagiku menemukan jalan lain untuk keluar darinya.
Aku terikat oleh cinta, tetapi dia ... dia masih belum melihatku ada di dekatnya.
"Kenapa sih, Kakak mau bertahan sama aku yang begini? Kalau Kakak tidak suka aku, kenapa Kakak tidak menceraikanku saja? Tapi selama ini Kakak terus ada di dekatku walau aku bilang belum mencintai Kakak sedikit pun. Apa alasannya? Kakak takut dipecat sama papa? Atau Kakak ingin sekali punya anak dari aku?"
"Karena aku mencintai kamu, Zy." Aku menjawab padat, jelas dan tidak berjeda.
Kedua mata Enzy membulat sempurna, mungkin terkejut atau tidak percaya kalimat seperti itu keluar dari mulutku. Selama ini dia merasakan perhatianku, keinginanku, juga rasa kecewaku, dia mungkin tidak mengira permainannya sekarang menggunakan perasaan.
"Aku tidak tahu kapan kau akan melupakan Arvin, tapi aku tetap berada di sisimu hanya untuk memastikan kau bisa bertahan tanpanya. Jika kau berhasil melakukannya, kau pasti akan bisa bertahan hidup tanpaku yang bahkan tidak pernah ada dalam hatimu."
Enzy terdiam lebih lama, aku memberinya kesempatan menenangkan diri dalam beberapa saat. Sampai kuusap puncak kepalanya seperti yang biasa kulakukan padanya setiap hari.
"Jangan menangis, aku tidak akan memaksamu menerimaku. Hanya saja, aku tidak memiliki banyak waktu lagi. Aku akan mengantarmu ke rumah papa hari ini, berpikirlah dalam keadaan tenang selama dua hari ke depan. Lalu beritahu aku bagaimana keputusanmu."
"Kakak bilang tidak memaksa, tapi kenapa cuma dua hari? Itu namanya pemaksaan. Apa tidak bisa kita bersama saja sampai aku menyukai Kakak?"
Karena setelah hari itu berakhir, kesempatan itu mungkin tidak ada lagi, Zy. Aku tidak akan pernah bisa lagi menemanimu saat menangis, atau menuruti keinginanmu yang terkadang di luar kebiasaanku. Suka atau tidak, hilang atau tidaknya perasaanmu kepada Arvin, perjanjian tetap perjanjian. Tanggung jawabku tetap dipertaruhkan dalam hal ini.
Aku terdiam, tidak menjawab pertanyaan Enzy yang pasti dia sudah tahu jawabannya. Aku tidak bisa menunggu lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin