"Apa kau mau pergi ke dokter? Atau kau mau kuambilkan obat? Sepertinya kita membawa obat-obatan dalam tas," ujarku menawarkan Enzy dua buah pilihan. Akan sangat mengkhawatirkan jika sakitnya kambuh di tempat ini, apalagi Enzy juga sempat mengalami mual muntah beberapa waktu lalu.
"Tidak, ini tidak apa-apa, kok. Mungkin aku hanya terlalu perasa, sekarang sudah tidak bergerak lagi."
"Sungguh?" tanyaku memastikan.
"Iya."
"Kalau begitu segeralah ganti pakaianmu. Sebentar lagi waktu shalat, aku akan memesan makanan lebih dulu agar kau tidak telat makan."
Enzy mengangguk pelan. "Tapi rasanya aku mau makan sup sapi dan iga penyet. Sepertinya itu enak."
"Tapi, Zy. Dua makanan itu tidak ada di sini, lagi pula iga penyet itu pedas. Aku tidak akan mengizinkanmu memakannya," ujarku seraya beranjak dari hadapannya. Aku berniat memesan makanan yang tersedia di tempat ini saja, itu sudah cukup.
"Aaaah, tapi aku sungguh mau makan itu. Rasanya air liurku menumpuk di mulut semua karena saking inginnya memakan itu. Izinkan aku sekali saja memakannya, ya."
Enzy menyusulku, memegang lenganku seraya menggoyangkannya seperti anak-anak merengek meminta mainan kepada ayah mereka.
"Tidak. Apa kau mau bertanggungjawab kalau lambungmu kumat lagi?"
"Tapi baru kali ini aku meminta makanan pedas."
"Sekali kukatakan tidak, itu artinya tidak. Pilih makanan lain, atau aku akan memesankan makanan sesuai keinginanku." Aku memberinya sebuah penekanan.
"Tapi aku maunya itu, Kak."
Sekali lagi Enzy berkata, aku berpura-pura tidak mendengarkan. Aku hanya memesankan sup sapi yang diinginkannya di aplikasi, lalu memesan makanan lain untuk penutup. Enzy tampak sedikit kecewa, dia terus cemberut dan marah meninggalkanku begitu saja.
***
Malam harinya. Sepertinya malam pertama kami berkemah tidak berjalan mulus, Enzy yang marah tetap diam, aku pun juga begitu. Sudah berkali-kali rasanya aku selalu mengalah demi kesenangannya. Kali ini tidak, aku mengabaikannya.
Aku tidur lebih awal setelah shalat isya, menginginkan sebuah ketenangan yang bisa kudapat. Kupikir Enzy juga tidak akan oergi ke mana-mana, dia tidak memiliki keberanian untuk pergi meninggalkanku begitu saja. Aku membiarkannya sendiri dengan kemarahannya.
Sampai aku kembali terusi dari tidur, tanganku tidak bisa menyentuh tubuh Enzy. Biasanya dia tidur di sampingku, ke mana dia? Aku pun membuka kedua mata, dia benar-benar tidak ada.
Apa dia masih marah?
Kutengok jam di ponsel, waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Ke mana lagi anak itu?
Karena kecemasanku sendiri, akhirnya aku memutuskan mencarinya. Sampai kedua kaki melangkah ke arah luar, aku mendapati seorang wanita berpakaian putih dengan rambut hitamnya yang tergerai, tengah duduk di sebuah ayunan. Wanita itu menghadap ke arah pegunungan gelap di depannya, benar-benar tidak ada yang bisa dilihat kecuali kegelapan.
"Enzy?" Aku mendekatinya, menyentuh bahuhya agar dia sadar ada keberadaan seseorang di sini. "Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau tidak tahu sudah jam berapa sekarang?"
Dia tidak menjawab apa pun, menoleh saja tidak. Aku menebak dia pasti masih marah padaku gara-gara iga penyet. Ya, ampun.
"Jangan melamun di sini, kita kembali ke dalam." Aku menarik lengannya hingga dia berdiri.
Namun, lengan Enzy begitu dingin di tanganku. Ini sangat dingin sampai aku mengecek kembali kening dan lehernya, masih tetap sama.
"Astagfirullah, tubuhmu dingin sekali. Apa kau baik-baik saja? Apa kau terlalu marah sampai kau menyiksa tubuhmu begini? Kenapa kau keluar tanpa pakaian hangat? Ikut denganku sekarang." Aku mengomelinya.
Sialnya, aku tidak memakai jaket saat keluar hingga spontan menarik tangannya agari ikut denganku ke dalam tenda. Kupaksa dia duduk di tepian tempat tidur sementara aku mencari jaket dan minyak kayu putih untuk menghangatkannya.
Sesegera mungkin kupakaikan jaket itu, wajahnya begitu pucat setelah berada di tempat terang.
"Jangan melakukan ini lagi, aku tidak suka. Kalau kau marah, tinggal memarahiku sesukamu. Aku tidak ingin kau menyiksa diri begini, Zy," ujarku seraya mengoleskan minyak itu ke bagian tubuhnya. Kuharap ini hanya efek kedinginan saat terkena udara malam, dan dia akan baik-baik saja.
"Apa sudah lebih hangat?" tanyaku saat menggosok-gosok kedua telapak tangannya agar lebih baik. Enzy hanya menatapku saja, dia tidak mengatakan apa pun.
"Apa kau mau--"
"Kakak, aku tidak marah atau membencimu."
Enzy menyela kalimatku dengan suara pelan.
"Aku tidak membencimu, jadi jangan menyalahkan diri sendiri lagi, ya. Aku ... akan pergi jika Kakak sudah menemukan wanita yang mencintai dan membahagiakan Kakak."
Aku mengeratkan pegangan pada tangan Enzy, tatapannya begitu kosong, bahkan tidak mengarah padaku. Tapi dia berkata seakan-akan ingin meninggalkanku saja. Entah kenapa aku tidak menyukai kalimat seperti itu, karena aku ingin terus berada di dekat Enzy meski tahu tidak ada cinta darinya.
"Kau ini bicara apa, Zy. Apa kau masih melamun, hmh?" tanyaku seraya mengusap rambut hitamnya. "Tunggu di sini sebentar, aku akan membuatkan teh jahe hangat."
Aku pun beranjak dan berniat membuatkan teh jahe. Untung saja kami menyediakan air panas dan teh, juga jahe untuk keadaan seperti ini. Tidak butuh waktu lama aku membuatnya, lalu kembali ke tempat Enzy berada.
Namun, istriku tampak sudah tergeletak di atas tempat tidur. Apa dia tidur secepat ini?
"Enzy, apa kau tidur? Tehnya sudah jadi, minum ini sedikit agar tubuhmu tidak masuk angin." Aku mengusap kepalanya, dia tidak terbangun.
"Zy? Enzy."
"Enzy, bangunlah. Astagfirullah ... Enzy?"
Tidak. Enzy tidak sedang tertidur, dia tidak kunjung terusik meski aku menggerakkan tubuhnya berulang kali. Segera kusambar kunci mobil, lalu membawa istriku keluar untuk mencari pertolongan.
***
"Kakak, kita mau ke mana?"
Aku mendengar begitu samar suara Enzy saat fokus menyetir, ternyata wanita itu sudah mulai siuman.
"Ke rumah sakit. Apa yang kau rasakan sekarang? Bersabarlah, sebentar lagi kita sampai," ujarku seraya meempercepat laju mobil. Aku ingin segera sampai agar Enzy bisa mendapat perawatan.
"Untuk apa kita ke rumah sakit? Apa Kakak sakit?" tanya Enzy.
"Kau pingsan, Zy. Aku akan memastikan kalau tidak ada masalah dengan lambungmu lagi, atau kau mengalami demam, hmh? Kemarilah, biar kuperiksa suhumu."
Aku memegang keningnya sebentar, ini cukup hangat dan normal bagi suhu manusia sehat. Berbanding terbalik dengan sebelumnya.
"Aku pingsan?" tanya Enzy dengan kernyit di kening.
"Kau tidak ingat? Itu karena kau duduk di ayunan tanpa pakaian hangat. Lain kali jangan diulangi, aku tidak suka kau melakukan hal semacam itu di tengah pertengkaran kita."
"Tapi aku tidak pergi ke mana pun, sungguh! Hanya saja yang aku ingat, aku terbangun karena haus, lalu pergi ke kamar mandi sebentar dan ...." Enzy menggntung kalimatnya sebentar. "Aku melihat Kirana, dia tiba-tiba saja ada di belakangku dan mengajakku berkomunikasi."
Aku mendadak menghentikan mobil di tengah jalan. Untung saja kondisi jalanan masih sangat sepi.
Enzy bertemu lagi dengan Kirana? Jika dia tidak merasa pergi ke ayunan itu, lalu siapa yang kuajak bicara tadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin