Dikta Povv
Rasanya masih seperti mimpi saat aku melihat Khawla Adara Wicaksono, putriku dan mendiang istriku yang kini sudah menjadi wanita cantik dan cerdas. Ya. Terbayang olehku saat ia masih kecil dulu. Seketika, ingatanku melayang dan berkelana seakan semua kembali ke masa-masa Khawla masih kecil, dimana sejak istriku meninggal dunia, aku yang harus bertanggung jawab penuh sebagai seorang ayah sekaligus ibu dari putri tunggal kami. "Papa...Nih," ucak Khawla yang saat itu masih SD. "Ini surat apa, Nak?," tanyaku saat Khawla menyerahkan surat dari sekolahnya dengan wajah cemberut. Saat itu, aku baru saja pulang bekerja dan Khawla baru pulang dengan bis sekolahnya. Biasanya, putriku itu selalu berwajah ceria saat menyerahkan surat dari sekolah karena prestasinya atau apapun itu. Ya. Khawla memang anak yang sangat cerdas. "Surat untuk perayaan hari Ibu, Pa," jawab Khawla dan ia mulai menangis. Spontan, kupeluk sayang Khawla. "Sayang....Kan papa yang nanti datang, nemenin Khawla kayak biasa. Kan Khawla mau perform juga, Nak. Nanti papa temenin cari kostumnya, sayang," hiburku sambil memeluk Khawla. "Nak. Papa paham kamu sedih, dan ingin mamamu disini. Papa juga sama. Tapi, Kita hanya berdua sekarang, Nak," batinku. "Pa. Kenapa sih, mama harus pergi dari kita? Kenapa juga, papa gak cariin Khawla mama baru aja, biar pas hari Ibu, Khawla bisa kayak teman Khawla yang lain, yang bisa ditemenin mamanya?," ujar Khawla dan jujur, ucapan anakku soal ibu baru memang sungguh membuatku sakit. Namun, aku harus berusaha mencari solusi untuk ini tanpa harus mengingkari ucapanku untuk takkan pernah mengganti Dini sebagai istriku, juga ibunda Khawla. Aku paham, keinginan Khawla soal ibu baru..mungkin hanya ingin sesaat dari seorang anak yang butuh belaian kasih ibu, meski aku sudah sangat berusaha menjadi ayah sekaligus ibu baginya. "Khawla sayang. Khawla kan punya mama. Cuma, mama sekarang sama Allah. Soal perayaan hari Ibu, kan undangannya untuk semua orang tua, gak cuma untuk ibunya aja. Jadi, papa temenin ya sayang," bujukku. "Tapi, Khawla juga pengen, Pa, bisa ngerasain didandanin sama mama, juga semuaaaa deh, sama mama," curhat Khawla dan aku tahu, anakku butuh sosok ibu. Namun dihatiku, aku takkan sanggup mengganti istriku. "Sayang. Anak cantik. Ikut papa ke studio sebentar yuk. Papa mau liatin sesuatu," ajakku. Kugandengn tangan putriku menuju studio dirumah kami. Saat di studio, kuputarkan video-video saat Khawla bersama mendiang Dini dari ia baru lahir sampai sesaat sebelum ia meninggalkan kami berdua. Ada juga momen saat pemakaman dan kami berdua memeluk nisan mendiang Dini. "Jadi, dulu Khawla juga pernah didandanin mama, juga disayang-sayang sama mama, Pa?," tanya Khawla padaku. "Iya sayang. Mama tuh, paling sayang sama Khawla. Papa juga sayang banget sama mama. Papa juga percaya, Khawla sayang sama mama kan, Nak?," jawabku seraya menatap sayang wajah anakku. "Iya, Pa...Papa. Maaf ya, Khawla sempat bilang mau punya mama baru....," sahut Khawla dan ia memelukku. Lalu, aku mendapat ide. "Nak. Kan nanti Khawla mau perform nyanyi dan main piano. Gimana kalau di screen saat Khawla perform nanti, ada video dan foto Khawla sama mama? Itu supaya Khawla bisa ngerasain kehadiran mama juga, sayang," usulku. "Ok deh, Pa. Khawla mau kok," sahut Khawla. Aku lega karena lagi-lagi, teori istriku untuk mendidik anak dengan meminimalkan kekerasan memang benar adanya. Terbukti, saat kusentuh hati kecil Khawla, ia bisa menunjukkan kasih serta sayang pada sang mama. Ah anakku. Semoga nanti kamu paham kenapa papa gak pernah berpikir sedetikpun untuk mengganti mamamu. Itu karena papa udah gak bisa mencintai perempuan lain untuk jadi istri papa selain mama kamu.
"Papa...Mmmm...Ngelamunin apaan, sih, Pa?," sapa Khawla, dan ia lumayan mengagetkanku yang tengah mengingat masa kecilnya dulu. "Astaga, Nak. Papa kaget loh. Kamu tuh, kalau pulang, gak salam dulu atau apa, lah, Nak," ujarku sambil merangkul Khawla, yang kuakui, memiliki wajah yang sangat mirip dengan mendiang mamanya. "Pa. Tadi Khawla udah salam beberapa kali. Trus, Bi Sati bukain pintu dan katanya, papa di taman sini, tempat kesukaan papa. Ya udah deh.....Hehehe," curhat Khawla. Ya. Anak gadisku itu baru saja pulang dari mengajar, juga ia baru menyelesaikan beberapa pekerjaan terkait album solo barunya nanti. Khawla juga mulai kuajarkan untuk memimpin bisnis penjualan alat musik yang kubangun saat ia masih SD kelas 1 dan berlangsung hingga sekarang. "Iya, Nak. Papa hanya inget pas kamu kecil dulu," ujarku sambil menatap Khawla. "Iya, Pa. Khawla inget banget, dulu Khawla beberapa kali minta mama baru kan, sama papa?," tanya Khawla. "Iya. Papa inget. Bahkan sampe kamu SMA, kamu minta itu lagi karena kamu pengen pake kostum couple sama mama. Padahal, kalau lebaran atau momen tertentu, kita kan pake baju yang warnanya senada, Nak," jawabku. "Iya. Tapi....Papa cuma pernah bilang kalau papa gak bisa kasih mama baru. Pa....Khawla mau denger donk, kenapa papa bisa begitu? Padahal nih, maaaaaafffff banget ya, banyak juga temen Khawla yang papa atau mamanya nikah lagi setelah salah satu meninggal dunia," sahut Khawla. Ya. Kurasa, ini waktunya untuk menjelaskan alasanku pada Khawla dengan lebih detail. "Ok. Gak masalah soal beberapa orang yang memilih menikah lagi setelah pasangannya meninggal. Tapi, itu bukan papa. Papa gak bisa mengganti mama kamu dengan yang lain. Untuk papa, mama kamu tuh gak hanya sekedar istri sah secara agama dan negara. Mama kamu lebih dari itu. Dia teman hidup papa, teman diskusi, tempat belajar, teman curhat dan..ya....dia segalanya. Mama kamu juga orang yang selalu mengedepankan diskusi daripada emosi, walau kadang sangat galak dan tegas setiap kali ada orang yang mengisuknya, juga orang yang ia sayang, termasuk papa. Sebelum akhirnya kami menikah, cobaannya lumayan berat, Nak. Beberapa keluarga dari almarhumah mama kamu sempat menentang pernikahan kami lantaran papa memiliki tatto. Tapi, mamamu tetap bertahan dan memilih papa hingga saat sebelum menikah, mama kamu sempat debat dengan salah satu Om nya karena om nya itu menentang rencana pernikahan kami. Saat itu terjadi, papa berusaha meredakan emosi mamamu. Ya. Mama memang orang yang lembut hati, cuma emang, kalau ada orang yang jahat dengan mereka yang disayangi mama kamu, ya....reaksi mamamu bisa sangat tegas dan pernah sampai emosi. Ya...Papa coba deh, tenangin mama kamu dan Alhamdulillah, kami akhirnya menikah. Saat mama kamu hamil, sempat loh, mama opname karena hiperemesis. Waktu itu, jangankan makan, minum air putih aja gak bisa karena mama muntah terus," ceritaku. Lalu, aku berhenti sejenak untuk minum jus buah. Ya. Itu sesuai pesan Dini untukku agar rutin minum jus buah supaya kesehatanku tetap terjaga di usia yang bisa dibilang gak muda lagi. Dini menulis semua pesannya pada book note khusus untukku sebelum ia meninggal. "Pa. Saat mama ngalamin semua sakit itu, mama pernah ngeluh gak? Trus, papa nemenin mama juga gak?," tanya Khawla. Ia sepertinya ingin mengetahui ceritaku dan Dini. "Papa nemenin terus, Nak. Ya..Papa mana tega biarin mama dalam kondisi seperti itu. Papa pijetin, dan ya..semua yang bikin mama kamu nyaman, papa lakuin deh. Trus, mama tuh, selama hamil kamu, paling suka makan masakannya papa loh. Jadi, papa selalu berusaha bikin masakan yang sehat tapi enak biar mama kamu makin sehat, makannya lebih semangat dan nanti, anak di kandungannya mama kamu juga sehat. Terbukti, kamu sampe segede dan secerdas ini, Nak. Saat menjalani masa sulit selama hamil, mama kamu sedikitpun gak pernah ngeluh. Dia hanya melukin papa tiap kali habis muntah atau apapun. Trus, kadang mama kamu masih nekad coba masakin papa walau harus pake masker karena gak tahan sama aroma bumbu dapur. Pas papa lihat, tentu aja papa gak tega dan jadi deh papa yang ambil alih masaknya," jawabku sambil membelai kepala Khawla. "Pa. Trus, sejak mama meninggal, papa juga milih untuk jagain Khawla dan gak menikah lagi. Kok bisa?," tanya Khawla. "Jelas. Itu karena, menurut papa, gak ada perempuan lain yang sama dengan mama kamu. Papa udah janji sama diri papa sendiri untuk hanya menikah sekali seumur hidup dan papa hanya berusaha memenuhinya. Selain itu, papa gak mau Khawla jadi lupa sama mama kandung Khawla karena papa menggantinya. Lagian, kadang juga ada ibu sambung yang gak bisa menerima anak sambungnya secara utuh. Itu yang papa gak mau. Mending papa aja yang urus kamu, Nak. Dengan papa urusin kamu sendiri, kan papa jadi bisa dekat sama kamu, juga, papa bisa belajar jadi ayah sekaligus ibu untuk kamu tanpa harus membuat kamu mengganti mama kandung kamu," jawabku. Lalu, kuajak Khawla keatas. Kuputarkan CD yang berjudul 'Khawla's Great Moment' yang berisi momen selama Dini hamil, melahirkan, serta mengasuh Khawla hingga usianya 3,5 tahun. "Pa. Kasian mama, sampe parah muntahnya," komentar Khawla. "Iya Nak. Tapi, kamu lihat deh. Mama gak ngeluh sama sekali," ceritaku. "Iya, Pa. Papa bener," balas Khawla. Kemudian, scene berganti di CD itu menjadi detik terakhir perpisahanku dan Dini yang terekam di kamera hp mendiang mertuaku. "Mama meninggal setelah papa bimbing syahadat dan.....mama pergi dalam dekapan papa," komentar Khawla dan ia menangis. Kupeluk erat putriku walau air mata juga mengalir karena aku merasa tak mampu tiap mengingat momen itu. "Itu momen yang paling menyakitkan, Nak. Papa ngerasa gak bisa, tapi Allah memampukan papa," balasku. Ya. Aku berharap, Khawla paham akan keputusanku. "Khawla paham, kenapa papa saaaayaaaaang banget sama mama. Itu karena mama adalah istri yang baik dan mama mencintai papa," sahut Khawla. "Iya, Nak. Juga, papa gak mau kamu lupa sama mendiang mama," timpalku dan kami saling peluk.
YOU ARE READING
My Sunglasses Man
General FictionDia adalah sosok kakak, calon suami, sekaligus pengganti sosok ayah bagiku. Kami sama-sama sudah tak memiliki ayah lagi. Dia hadir dihidupku lewat sebuah ketidak sengajaan. Awalnya, aku tak suka dengan sosok lelaki berkacamata. Tapi, dia, Dikta ku...