Alhasil, besoknya, aku dan Dikta menyetir bergantian. "Mas. Kamu itu, jangan lupa minum air putih kalau nyetir. Nih, minum dulu, Yang," ucapku sambil mengarahkan thumbler ku. Dikta meminum air putih itu. "Iya deh. Mi. Ini nih, calon mantu mami emang bawel banget. Kalau Masta lupa minum air putih, bisa marah dia," ujar Dikta. "Bagus malah. Mami setuju. Emang, Din. Bawelin aja. Kadang, Mas mu itu, susah minum air putih kalau nyetir. Tapi setelah sama kamu, dia rajin loh," sahut mami. "Iya.....sama aja, Jenk. Dini juga suka lupa makan dan tidur kalau lagi belajar atau deadline. Dikta kasian juga, sampe ngomelin dia terus, dan ikut suapin juga kalau Dini malas makan. Sampe rela nungguin waktu Dini opname juga, lagi," balas mama. "Daripada Dini gak makan, jadi ya.....udah deh, selama saya ada di Jogja kemarin tuh, selalu ada waktu berdua dan kalau dia lagi repot ama tugasnya, sebagai calon suami yang baik, saya turun tangan suapin dia makan," balas Dikta. "Iya..jadi seri kan. Kamu juga sama, sih, Mas," ucapku. Dikta tertawa dan ia spontan mengusap rambutku sembari menyetir. "Mas....udah donk usap rambutnya. Ntar lagi," balasku. Dikta menurut. Malah, sekarang gantian aku yang membelai pipinya dan sesekali kupijit bahunya, agar kekasihku itu tak kelelahan. Diperlakukan begitu, Dikta tersenyum senang. Aku tahu, ini memang menjadi hal menyenangkan bagi kami karena sejak aku tinggal di Jakarta, kami lebih sering berdua. Malah, kerja juga berdua.
Di Bekasi. Mami rupanya ingin mengajak mama untuk lebih tahu dekat tentang keluarga Dikta. Aku juga jadi semakin mengenal kekasihku dan keluarganya. Rupanya, mereka memang keluarga musisi. "Nggak heran, ya, Mi, Masta main musiknya jago, dan suaranya bagus," ucapku. "Iya. Mami juga bangga sekali sama Dikta. Dia mulai mandiri sejak SMA. Tamat SMA juga, dia udah cari uang sendiri. Walau kuliahnya jadi berantakan karena dia sibuk di musik, tapi mami bangga sama dia. Anak laki-laki mami satu-satunya sekarang bisa mandiri," sahut mami. "Jenk. Mmm. Tapi....Dini kan S2, lulusan cumlaude juga, trus, dari UGM yang terkenal itu, lagi. Apa jenk gak malu tuh, karena calon mantu nya bukan S2 juga, malah, gak kelar kuliahnya?," tanya mami. Saat itu, Dikta tengah mandi. Mama tersenyum dan menjawab, "Buat apa malu, sih, Jenk. Buat saya dan almarhum ayahnya Dini, itu gak masalah. Lagian, Dikta juga anak yang baik, religius, juga bertanggung jawab, dia punya pekerjaan, dan mau kerja keras untuk bahagiakan keluarganya nanti. Yang paling penting, dia sayang sama Dini dan mau menerima Dini apa adanya. Malah, seperti yang jenk juga tahu, Dikta ikut bantuin saya biayain S2 nya Dini. Tiap bulan, dia kirim uang ke Dini yang jumlahnya sama besarnya dengan uang bulanan dari saya, malah, lebih besar lagi kalau Dini mau beli buku, mau cetak proposal tesis, habis ujian atau apapun itu. Disitu, saya bisa menilai kalau Dikta sangat bertanggung jawab. Malah, apartemen Dini juga, Dikta yang bayar. Justru, Dikta yang banyak bantuin anak saya Dini, ajarkan dia nyanyi supaya bisa lebih baik, aksi panggung yang baik, dan banyak lagi, sampai mereka dikontrak duet. Itu peran Dikta semua. Malah, waktu ayahnya Dini meninggal, Dikta ikut angkat keranda jenazah, ikut memakamkan, dan baca azan sebelum liang lahat ditutup. Buat saya, Dikta bukan hanya calon mantu, tapi udah kayak anak sendiri." "Iya. Dini juga anaknya baik, trus walau S2, dia gak sombong dan sopan sama keluarga. Sholatnya juga rajin, dan dia manis sekali. Trus, perhatian banget sama Dikta. Dia malah rela nemenin Dikta nungguin amarhum papanya di rumah sakit. Malah sampai 3 hari setelah papanya Dikta meninggal, baru deh, dia pulang. Itu juga, Dikta yang bujuk. Jenk. Saya ingat, gimana Dini rela tidur dikursi berdua Dikta pas almarhum lagi koma. Pas pemakaman papanya Dikta juga, Dini yang nemenin dan sabarkan Dikta terus. Dia peluk Dikta dan nemenin Dikta. Ya.....dari situ, saya melihat kalau mereka beneran bisa saling cinta," balas mami.
Tak lama, Dikta datang. Ia sudah selesai mandi. Kuakui, ia tambah ganteng. "Mmm. Kamu udah siap kan? Kita ke makam papa dulu, sekalian sama mama, mami dan oma," ajak Dikta. "Boleh, Nak. Mama juga mau ziarah sekalian," sahut mama. Lalu, kami ke makam almarhum papa Dikta. Ya. Selama 3 hari di Bekasi, kami mengenal semua keluarga Dikta. Kami sempat juga main ke Bogor, tepatnya ke rumah keluarga Dikta, juga mengunjungi sepupu mama yang tinggal disana. Begitu di Bogor, tepatnya saat di rumah Tante Evelline, tanteku yang juga sepupu mama. "Wah....calonnya artis ya. Udah master juga?," tanya Tante Evelline padaku. "Iya, udah selesai S1 nya, Tante," jawabku. Dikta terkejut. Ia tak menyangka kalau aku akan berbohong. "S1 dimana? Kapan mau S2 nya? Masak kalah sama Dini. Kan, Dini S2, dari UGM, trus cumlaude, lagi. Inget, ya. Laki-laki itu, gak boleh kalah pendidikan sama istri loh, biar seimbang rumah tangga nya, dan kalau di undangan, ada gelarnya. Jadi, gak malu-maluin," sahut Tante Evelline lagi. Ini membuatku malu dihadapan mami dan Dikta. Apalagi, wajah Dikta jadi berubah agak kesal karena aku terpaksa berbohong. Ia juga kaget dengan ucapan Tante Evelline barusan. "Mmm. Kalau itu, setelah selesai album duet kami dulu, Tante," balasku. "Maaf, Tante. Saya mau keluar sebentar. Din. Yuk, temenin," ajak Dikta padaku. Aku agak heran karena ia paling jarang memanggilku dengan nama langsung. Ia selalu memanggilku Sayang, Yang, atau apapun itu, yang menunjukkan bahwa kami memang pacaran.
Diteras rumah tanteku. "Din. Kenapa kamu bohong soal status pendidikanku? Kan kamu tahu sendiri kalau aku ini, kuliahnya gak selesai. Jadi, aku hanya tamat SMA aja kalau dari ijazahku. Aku gak suka kalau kamu bohong. Din. Kebohongan itu, apapun alasannya, tetap gak dibenarkan sama agama kita. Mendingan kita jujur deh, apapun resikonya. Din. Apapun yang diawali dengan kebohongan, gak akan berakhir dengan baik. Bahkan, menambah dosa kita aja, karena kita harus berbohong lagi untuk menutupi kebohongan sebelumnya," ucap Dikta. Suaranya lebih tegas dari biasanya. Aku tahu, ia marah dengan tindakanku. "Mas......aku lakukan ini karena aku gak mau kalau Tante Evelline mojokin kamu. Kamu tahu, dia itu, sangat detail soal titel akademik orang. Buat dia, S1 hanya berjodoh dengan sesama S1 dan S2 hanya berjodoh dengan sesama S2 aja. Karena itu, aku sengaja bohong biar dia gak sinis sama kamu. Aku lakukan itu untuk lindungi kamu, percaya deh, Mas. Aku gak ada maksud lain," sahutku sembari memegang tangan Dikta. Aku berusaha menjelaskan maksud tindakanku. Tapi yang kulihat, Dikta marah padaku. Tak pernah kulihat ia semarah itu padaku. "Mas......Maafin aku. Aku gak bermaksud nutupin semuanya," ujarku. "Aku sekarang tanya sama kamu. Kamu malu ya, mengakui status pendidikanku dihadapan tantemu, sampai kamu tega berbohong kayak tadi?," tanya Dikta. Pertanyaan itulah yang paling kutakutkan. "Mas. Dengerin aku. Aku gak malu sama status pendidikan kamu, karena bagiku, kamu tetaplah panutanku. Kamu itu imamku setelah kita menikah nanti. Kamu juga guru yang baik buatku, yang selalu mendukungku, apapun yang ingin kulakukan. Mas. Bagiku, semua yang kamu berikan untukku, dan semua pengalaman hidup yang kamu jalani selama ini, membuatmu sangat smart di bidang kamu, bahkan kamu bisa mengalahkan seorang master sekalipun. Terbukti, kamu justru lebih banyak bantuin aku di saat terakhir untuk melengkapi syarat wisuda ku, bahkan, kamu juga ikut membiayai keperluanku sewaktu aku kuliah di Jogja, sampai sekarang. Apartemenku kan, kamu juga yang bayarin sewa nya. Jadi, kamu itu udah selevel diatasku. Kamu selevel diatas master dimataku. Mas. Aku bangga sama kamu, dan akan seperti itu selamanya," jawabku. Kutatap mata Dikta dan berharap ia tak marah. Namun, ia hanya diam saja tanpa membalas genggaman tanganku.
Saat perjalanan pulang ke Jakarta, aku dan Dikta memang lebih banyak diam. Hanya mama dan mami saja yang mengobrol. Mama bahkan sampai minta maaf pada maminya Dikta soal ucapan Tante Evelline tadi. "Jenk. Yang menjalani kan, anak-anak kita. Jadi, mereka yang lebih paham. Kita hanya kasih restu dan doa saja," timpal mami. Kami sedang di rest area saat itu. "Iya. Tapi kan, saya jadi malu sama Jenk, juga Dikta. Nak, maafin Tante nya Dini, ya. Dikta, 1 hal yang harus kamu tahu. Walau kamu nggak S2, kau udah bantuin seorang S2 untuk meraih mimpinya. Mama dan Dini gak akan lupa kalau kamu juga ikut bantuin membiayai keperluan Dini selama di Jogja. Malah, uang bulanan darimu untuk Dini juga, seringkali lebih besar daripada uang bulanan yang mama kirim untuk Dini. Artinya, kamu membantu mencetak master, walau kamu nggak master. Lagian, dengan kesuksesanmu sekarang, Insya Allah, orang akan menghargai kamu," support mama pada Dikta. Mama tahu, tunanganku itu minder dan aku kehilangan kata untuk membujuknya. "Ma. Tapi, Dikta gak suka kalau Dini bohong tadi," sahut Dikta akhirnya. "Mama tahu itu. Dini hanya lagi panik tadi. Dia juga bingung, kenapa Tante Evelline tega bertanya seperti itu sama kamu. Nak. Maafkan mama dan Dini, ya," timpal mama. "Mas. Aku yang salah. Semua karena aku. Mas. Kamu bilang, apa yang harus kulakukan biar kamu mau maafin aku? Aku bakal lakukan itu," sambungku.
"Udahlah, Din. Aku tahu, kamu tadi gak sengaja. Tapi aku minta sama kamu, jangan kamu ulangi lagi kebohongan itu. Buatku, kalau kamu bohong seperti tadi, itu sama aja kamu gak bisa menerima status pendidikanku apa adanya. Aku tahu, kok, Din, kamu gak sengaja dan kamu lakukan itu demi melindungiku. Tapi, bukan itu caranya. Kalau kamu jujur dan tantemu masih remehkan kita, ada kok yang bisa kita lakukan. Kita buktikan aja sama beliau kalau kita bahagia walau pendidikanku gak setinggi kamu," timpal Dikta. "Mas.....jangan kamu bahas lagi masalah status pendidikan atau titel akademik. Aku rela, kalau kita nikah nanti, gelarku gak dicantumkan di undangan pernikahan kita," balasku. "Gak. Jangan. Cantumin aja semua. Aku malah bangga dengan itu, karena, aku yang tamat SMA aja, bisa dapat istri S2," ucap Dikta. "Mami usul. Gelar Dini dicantumkan, tapi, disamping nama Dikta nanti, ada nama Yovie and Nuno, biar kalian imbang. Satu dapat gelar akademik, dan 1 lagu, karier musiknya sukses," sahut mami. Kami setuju saja. Lagipula,kami belum memikirkan pernikahan dalam waktu dekat karena kesibukan kami.
YOU ARE READING
My Sunglasses Man
General FictionDia adalah sosok kakak, calon suami, sekaligus pengganti sosok ayah bagiku. Kami sama-sama sudah tak memiliki ayah lagi. Dia hadir dihidupku lewat sebuah ketidak sengajaan. Awalnya, aku tak suka dengan sosok lelaki berkacamata. Tapi, dia, Dikta ku...