Memang, setelah pertunangan kami, baik aku maupun Dikta semakin dewasa dalam menjalin hubungan walau harus LDR. Dikta bahkan menyarankan padaku untuk mencari kerja di Jakarta saja usai lulus nanti. Aku bersedia. Mama juga mengijinkan, asal mama bisa tinggal denganku. Tentu saja aku mau. Hari itu, tanggal 3 November. Mbak Arty, kakak dari Dikta, meneleponku. "Dik. Kamu dimana? Sibuk gak?,"tanya Mbak Arty di videocall. "Ini baru pulang dari konsul tesis, Mbak. Ada apa ya?," tanyaku. "Papa kritis, dek. Kalau bisa, kamu kesini, ya. Papa dirawat di Siloam yang di Semanggi," jawab Mbak Arty. "Iya, Mbak. Saya akan kesana,"sahutku. Maka, kutelepon mamaku dan beliau berucap, "Kamu kesana, Nak. Dampingi Dikta. Dia udah sangat mensupport dan mendampingi kamu pas ayah meninggal. Sekarang giliran kamu yang support dia. Apalagi, kamu kan sekarang bukan hanya pacarnya, tapi, tunangannya." "Iya, Ma. Insya Allah besok pagi Dini berangkat," ucapku. Maka, segera kubeli tiket dengan aplikasi online untuk berangkat besok pagi. Alhamdulillah, aku dapat tiket jam 7 pagi dengan Citylink. Segera kukabari Mbak Arty. Beliau bahkan mengatakan bahwa beliau sendiri yang menjemputku, karena papa tak mau jauh dari Dikta, anak lelaki papa satu-satunya.
Keesokan harinya. Begitu tiba di bandara, kulihat Mbak Arty sudah menjemputku. "Mbak. Gimana kondisi Om?," tanyaku. Aku hanya membawa 1 koper ukuran sedang. "Masih nggak stabil. Ini Dikta nemenin terus karena papa nggak mau jauh dari dia," jawab Mbak Arty. "Kita langsung ke rumah sakit aja, ya," lanjut Mbak Arty. Aku setuju. Begitu di rumah sakit, aku langsung menemui Dikta dan ayahnya, setelah sebelumnya, aku salami mami. "Untung kamu cepat kesini, Nak. Barusan, papanya Dikta nanyain kamu," ujar mami. "Iya, Tante. Saya jenguk dulu, ya," ucapku. "Iya. Tante mau beli teh hangat sebentar ke kantin," sahut mami. Kemudian, aku masuk. Dikta kaget karena melihatku. "Loh. Kamu disini?," ucapnya terkejut. "Iya, Sayang. Kamu kok gak bilang kalau kondisi papa kamu seperti ini, Yang?," sahutku. Aku terkejut melihat kondisi calon papa mertuaku, yang dipenuhi banyak alat medis. "Aku mau bilang, tapi aku tahu, kamu lagi fokus sama proposal tesismu. Aku gak mau gangguin kamu," timpal Dikta. "Pssst. Gak boleh gitu, donk. Aku ini tunanganmu. Kamu bisa bagi apapun ke aku, Yang," ucapku. Kurangkul bahu Dikta yang sedang duduk. Dikta memelukku dan berucap, "Iya. Maafin aku, Yang. Well. Papa tadi nanyain kamu sebelum beliau tidur." "Iya. Aku disini kok, nemenin kamu dan Om," balasku. Tak lama, papa bangun. Ia menyapaku, "Nak. Akhirnya.....calon menantu papa datang juga. Papa titip nih, anak laki-laki papa satu-satunya." "Om....gak boleh bilang gitu. Om harus sehat," ucapku. Aku masih agak trauma dengan meninggalnya ayahku 2 bulan lalu. "Iya. Nak. Panggil Om dengan sebutan papa, ya. Lalu, setelah kamu lulus nanti, papa udah bilang sama Dikta. Kamu bisa bantuin dia dulu sebelum kamu dapat kerjaan lainnya. Kamu bisa nyanyi duet sama dia," sahut papa. "Papa mau, kalian duet," ujar papa lagi. Aku dan Dikta mau tak mau bernyanyi berdua. Kami nyanyikan lagu A Whole New World dan papa mengikuti. Sejumlah lagu pop, blues dan jazz juga kami nyanyikan bertiga. Sejenak, kondisi beliau mulai membaik.
Tapi, saat malam, pukul 20.00, kondisi papa menurun. Ia koma. Ini mengagetkan kami semua. Pasalnya, baru saja beliau sangat ceria saat bersama semua keluarga, termasuk, beliau mencandaiku sebagai anak barunya. Walau aku sendiri masih agak trauma, tapi, aku coba menguatkan Dikta saat papanya harus kembali masuk ke ICU. "Din. Mbak mau balik dulu. Kasian Radhin. Insya Allah, habis Subuh, Mbak kesini. Kamu pulang sama Mbak, ya. Keliatannya kam capek," ajak Mbak Arty. "Iya, Mbak. Mbak capek loh. Aku aja mau pulang dulu, ikut Mbak Arty. Palingan Mas Dikta yang disini. Mami juga mau ikutan pulang, kasian mami," timpal Salsa, adik bungsunya Dikta. "Mbak. Salsa. Makasih tawarannya. Tapi, saya disini aja, nemenin papa dan Mas Dikta. Kasian dia sendirian nemenin papa," ujarku, mengagetkan Dikta. "Sayang. Kamu ikut pulang aja. Aku sendiri nggak apa-apa kok," sambung Dikta. "Nggak, Mas. Aku disini sama kamu. Dulu, waktu ayahku sakit sampai meninggal, kamu selalu disisiku. Sekarang giliran aku yang disini nemenin kamu," timpalku. Kugenggam tangan Dikta. Kalau sudah begitu, kekasihku itu tak bisa lagi melarangku. Ia bahkan mengijinkanku menemaninya. Jadi, malam itu, aku dan Dikta menunggu didepan ruang ICU. Tangan kami saling genggam. Dikta bahkan menyandarkan kepalaku dalam pelukannya. Tepat jam 01.00, dokter menyatakan bahwa masa kritis papa sudah lewat dan bisa dipindah ke ruang rawat. Ini membuatku dan Dikta lega. Kami segera mengabarkan berita itu ke mamaku, maminya Dikta, juga Mbak Arty.
YOU ARE READING
My Sunglasses Man
General FictionDia adalah sosok kakak, calon suami, sekaligus pengganti sosok ayah bagiku. Kami sama-sama sudah tak memiliki ayah lagi. Dia hadir dihidupku lewat sebuah ketidak sengajaan. Awalnya, aku tak suka dengan sosok lelaki berkacamata. Tapi, dia, Dikta ku...