Tiba juga waktunya bagi kami untuk berangkat.aku memang tak sabar untuk segera tiba di benua impianku yang cantik itu. Apalagi, aku ingin melihat Menara Eiffel secara langsung dengan mataku. "Lah. Kita landing masih 2 jam lagi. Kok udah bangun?," tegur Dikta. "Mmmm. Udah gak bisa bobok lagi. Gak sabar mau sampe. Hehehe," ucapku. "Iya. Karena kita berangkat malam dari Jakarta, sampe Paris masih pagi loh. Kalau kata Mas Yovie, hari ini, kita beli baju hangat dulu bagi yang belum punya. Ya...check in hotel dulu pastinya. Trus, dari beli baju hangat, kita observasi lokasi. Kalau mau belanja-belanja untuk oleh-oleh, ini waktunya sih," jelas Dikta. "Iya deh. Aku nurut. Makasih, ya, Mas. Gara-gara kamu, aku bisa sampai disini sama mama. Ini impianku banget untuk bisa bawa mama ke Eropa," sahutku. "Iya. Sayang. Ini juga berkat kerja keras, dan pastinya....doa sama Allah," balas Dikta. Lalu, kami tidur lagi. Kusandarkan kepalaku ke bahu Dikta dan Dikta juga bersandar dikepalaku serta tangan kami saling menggenggam.
Begitu tiba di Paris, kami check in hotel dan langsung menuju sebuah butik untuk membeli baju hangat. Ini karena aku dan mama belum punya baju hangat. Kalau Dikta, mami dan oma malah sudah memilikinya. Aku memilih baju hangat berwarna hitam yang merk nya sama dengan Dikta. "Yang. udah ekstra small masih kegedean ya," goda Dikta. "Ini small size, Yang, belum yang ekstra. Tapi gede banget ya, di aku," komentarku. "Kayaknya gak juga. Coba, kamu pake belt nya," saran Dikta. Aku coba untuk memakai belt yang juga 1 stel dengan baju hangat tersebut. "Mmm. Liat deh. Pinggang nya kegedean gak?," tanyaku pada Dikta. "Agak longgar sih kayaknya. Tapi kalau mau coba yang ekstra small, coba aja," jawab Dikta. Aku coba lagi dan untuk yang ekstra small malah sangat pas. "Tuh. Bagus banget. Gak kegedean," komentar mama. Mama sudah mendapat baju hangat berwarna hitam dan krem. "Iya. Mau beli yang hitam ini untuk syuting besok, ma. Trus, kalau untuk yang di Venesia....katanya Masta, beli yang merah aja. Masta tetap pake baju hangat hitam," sahutku. "Iya. Nih, untuk syuting besok, kita pake jaket hangat yang sama model dan warnanya. Bedanya, aku pake syal merah dan kamu pake pink. Untuk di Venesia, aku pake baju hangat yang hitam dengan model resleting dan kamu, pake jaket merah yang modelnya lebih banyak detail, hehehe. Aku juga mau gak mau beli 1 nih, jaket hangat untuk besok," timpal Dikta. Ia bahkan membayarkan semuanya. Malah, ia belikan mama, juga mami dan oma baju hangat yang sama dengan mamaku biar seragam. "Nak..makasih ya. Itu padahal mahal banget," ucap mama. "Gak kok, Ma. Doain aja saya sama Dini biar proyek ini sukses," sahut Dikta. "Pasti, Nak," sahut mama. "Masta. Sepatu hangatnya jangan lupa. Kamu kan kemarin bilangnya mau beli sepatu hangat untuk syuting besok," tegur mami. "Bener. Sarung tangan juga loh," balas oma. "Astaga...iya. Mmm. Kebetulan ada toko disana. Yuk, Mi," ajak Dikta. Ia juga mengajak kami semua. Alhasil, aku membeli sepatu hangat yang panjangnya ¼ lutut berwarna hitam dan 1 lagi sepatu hangat selutut berwarna coklat muda. Mamaku juga membeli sepatu yang sama, begitupun mami dan oma. Kalau Dikta, ia membeli sepatu yang warnanya sama dengan model yang berbeda dengan kami. Aku juga sempat mampir ke counter Sephora dan beberapa counter make up di Paris. "Mmmm. Dikta. Kalau Dini udah kesana, kelar nih urusan," ucap mama. "Gak masalah, loh, Jenk. Biar Dikta ini,belajar nemenin calon istri beli make up. Kan, kalau mau beli hantaran, salah satu nya ada make up dan itu....harus sesuai sama make up yang Dini pakai. Dikta, sana temenin. Mami ama mama kamu dan oma juga mau lihat-lihat nih," sahut mami. Dikta pun menemaniku, yang lumayan kalap saat melihat make up. Belum lagi, saat masuk ke Max Evan Paris, aku juga sempat membeli anting dan gelang untuk keperluan manggung. Mama dan mami, serta oma juga ikut kubelikan. Maklum, aku juga mulai punya uang sendiri sejak sering manggung dengan Dikta.
Puas belanja di Champ Elysee untuk dipakai sendiri karena barang branded semua sekaligus jalan-jalan dan foto, kami survey lokasi dan inilah yang kusuka. Akhirnya....aku bisa dari dekat melihat Menara Eiffel. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Malah, Dikta juga meminta bantuan pada beberapa kru untuk mengabadikan kami semua. Ada yang foto sendiri-sendiri, aku bersama Dikta, mama, mami dan oma. Ada juga fotoku dengan mama, foto dengan mami dan oma. Tapi....foto dengan Dikta juga ada. Malah, naluri romantis tunanganku ini makin terlihat. Ia sempat menggendongku dari depan, lalu menggendong dari belakang juga. Dikta mengupload foto ini dengan caption, 'Kesini nya sekarang sama tunanganku. Finally...bisa ajak tunangan dan calon mertua, juga mami dan oma kesini. Tapi....lihat aja di beberapa slide. Ada yang bahagia karena lihat Eiffel langsung. Ah....bahagianya melihatmu bahagia, tunanganku sayang.' Aku mengupload beberapa foto dengan mama, berlima dengan mama, Dikta, juga mami dan oma, foto berdua Dikta dan foto sendiri dengan caption, 'Kerja sambil liburan. Makasih tunanganku, udah wujudkan mimpiku. Dari dulu emang pengen pake banget ke Paris ama mama dan sekarang baru kesampaian walau sambil kerja.' Dari Eiffel, kami juga menuju Museum Louvre, Istana Versailes, Arch The Triomphe, Sungai Siene, Monmartre, juga Taman Luxemburg, Place De La Concorde, dan Jembatan Pont des Arts. Kami survey lokasi hingga malam hari. Pastinya, kami sambil foto-foto juga. Malah, mamaku sempat mengirim foto ke grup keluarga, baik pihak mama maupun almarhum ayah. Ya. Mama mengirim foto saat kami di Eiffel, Monmatre, Arch The Triomphe, juga beberapa kawasan. Ada foto mama sendiri, berdua denganku, bertiga dengan Dikta, foto dengan mami dan oma, juga foto berlima. 'Wah....udah di Paris aja, nih, Kak,' balas Om Iwan. 'Iya. Hati-hati disana, Kak,' balas Tante Evi juga.
YOU ARE READING
My Sunglasses Man
General FictionDia adalah sosok kakak, calon suami, sekaligus pengganti sosok ayah bagiku. Kami sama-sama sudah tak memiliki ayah lagi. Dia hadir dihidupku lewat sebuah ketidak sengajaan. Awalnya, aku tak suka dengan sosok lelaki berkacamata. Tapi, dia, Dikta ku...