Beberapa hari setelah kami mengetahui tentang kehamilanku. Hari itu, aku dan Dikta memang harus berangkat ke Bali karena sudah tanda tangan kontrak kerja. Ya. Dikta harus manggung bersamaku lantaran kami masih terikat beberapa jadwal promo single kami, sekalian, Dikta bersama Yovie and Nuno juga ikut. "Sayang. Semangat ya," ucap Dikta sembari mengusap punggungku saat ia melihat tanda kalau aku mulai mual begitu kami sudah di pesawat. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum. Selama hamil, memang aku lebih sering mual dan karena itu juga, airsickness bag atau kantong plastik memang selalu aku siapkan ditas ku. Tak lama kemudian, aku malah muntah. Dikta dengan siaga nya langsung mengusap punggungku. "Allah..Kasian kamu, Sayang," batin Dikta. Ia usap sayang punggungku dan langsung membukakan botol minumnya. "Minum?," tawar Dikta padaku usai aku muntah. "Nanti, Mas," jawabku pelan. Tapi, tak lama, aku justru muntah lagi. Dikta mencoba untuk tetap tenang walau ia panik sekali. "Dini kenapa? Masih muntah?," tanya Mas Ady. "Iya," jawab Dikta. Aku sendiri memilih untuk bersandar dibahu suamiku itu. "Nih. Coba lu kasih aroma terapi. Dulu, waktu istri gue hamil si Kimmi juga kayak gini," saran Mas Ady seraya memberikan minyak aroma terapi. "Sayang. Coba pake ini, ya," ucap Dikta dengan penuh kasih sayang padaku. Aku mengangguk. Kucoba mencium aroma lavender dari minyak aroma terapi itu, dan.....lumayan membantu. Aku jadi lebih tenang dan rileks. "Bobok aja kalo ngantuk, Yang," lanjut Dikta, yang dengan sayang mengusap rambutku. "Iya. Ngantuk banget ini, Mas," sahutku. "Iya, bawa tidur aja," timpal Dikta.
Begitu di bandara, aku langsung menuju toilet dan Dikta mengikutiku tanpa peduli tatapan orang lantaran ia masuk juga ke toilet wanita. â"Mas Ady. Titip barang gue ama Dini dulu. Gue nemenin Dini bentar," ujar Dikta seraya setengah berlari mengejarku. "Iya. Temenin dulu, Bro," ucap Mas Ady. Benar saja. Begitu di toilet, aku malah muntah lumayan parah. "Sayang. Baru bisa keluar ya, muntahnya? Dari dipesawat kamu enek terus loh, tadi," ucap Dikta padaku seraya memijit punggungku dan mengusapnya. "Iya. Padahal sebelum berangkat, aku udah makan tempe bacem sama terong goreng, trus sempat ngemil kacang almond. Tapi, ini malah keluar semua," sahutku. Aku jadi nangis karena malah kepikiran, bagaimana nutrisi bayi kami kalau aku muntah terus seperti ini. "Iya Sayang. Udah, jangan nangis ya. Nanti, kalo laper, makan lagi pelan-pelan," hibur Dikta. "Sini, Sayang ya. Yuk, kita temui Mas Ady dulu, trus kita ke hotel, biar kamu bisa tiduran sebentar dan minum obat mual nya," ucap Dikta lagi sambil memegang tanganku, lalu dengan sayang, ia rangkul bahuku. Aku balas merangkul pinggangnya. Kami pun menyusul rekan Yovie and Nuno lain yang sedang menanti.
"Gimana Bro?," tanya Mas Ady. "Iya. Din....Lu gak apa-apa?," tanya Windura. "Gak kok, Mas. Cuma agak capek aja," jawabku pelan. "Iya. Ini gue ama Dini mau ke hotel dulu. Kan, check sound nya masih sore nanti," sahut Dikta. "Iya. Tuh, mobilnya datang," ucap Mas Ichan. Lalu, dengan bantuan teman-temanku yang membawakan barang kami, kami masuk ke mobil. Baru 10 menit di mobil, aku mendadak mual lagi. Padahal, aku habis ngemilin keripik kentang. Alhasil, aku malah muntah lagi di kantong yang memang sudah kusiapkan didalam handbag ku. "It's oke, Sayang. Sabar, cintaku," ucap Dikta sembari mengusap punggungku saat aku muntah lagi. "Nih. Mau minum?," tawar Dikta begitu aku tak terlalu mual. Ia sudah membukakan botol minuman untukku. Aku menggelengkan kepala karena masih merasa mual dan...benar saja. Aku muntah lagi, lalu seperti biasa, Dikta malah mengusap punggungku dengan penuh perhatian. "Sayang, sabar. Tetap semangat. Kan, ini demi dedek bayi nya," hibur Dikta padaku. "Sini, biar kantongnya aku buangin. Mas, berhenti dulu. Mau buang sampah," ucar Dikta, kali ini, ia minta supir untuk berhenti sebentar. Setelah membuang sampah, Dikta memelukku dengan sayang dan ia usap perutku seraya berucap, "Masya Allah....dedek bayi, sayangnya papa dan mama. Jangan bandel-bandel ya, Nak. Kasian mama tuh, sampe muntah terus." "Mas....Gak kok. Dia gak bandel. Dia lagi mau main aja nih," balasku. "Iya. Nanti gitu dihotel, langsung bobok aja, Sayang," sahut Dikta. Aku mengangguk.
Sore, saat check sound, untungnya aku tak terlalu mual. Saat tampil di malam harinya juga, kondisiku jauh lebih baik. "Sayang. Kamu gak apa-apa?," tanya Dikta padaku. "Gak, Sayang. Udah lebih baik," jawabku. "Dedek bayi, papa sama mama kerja dulu. Nanti baru kita main lagi. Kamu yang anteng ya, Nak," ucap Dikta dengan penuh kasih sayang seraya mengusap perutku. Well. Hobi baru Dikta sejak ia tahu kalau aku sedang hamil adalah mengusap perutku dan ngobrol dengan bayi dalam kandunganku. Katanya sih, biar bayi kami mengenal dia sejak awal sebagai papanya. Ah....suamiku memang ada-ada saja. Aku tersenyum dan berucap, "So lucky to have you as my husband. Makasih ya, Mas." "Sayang. Kan, aku lakukan semuanya karena aku juga mau jadi suami dan calon papa yang baik buat kamu sama adek bayi diperut kamu. Lagian, aku kan, yang bikin kamu hamil gini. Ehehehe," sahut Dikta. "Mas. Tapi tetap aja aku beruntung punya kamu," balasku."Sepertiku juga, yang sangat beruntung bisa punya istri seperti kamu. Apalagi, ini kan, kita mau punya anak," balasku. Lalu, kami dipanggil untuk duet. Pertama, kami nyanyikan lagu Kemenangan Hati, dan disusul lagu Till The End Of Time (Hingga Akhir Waktu). Lagu You Are The Reason, A Whole New World dan Can't Help Falling In Love juga kami nyanyikan lagi atas permintaan penonton. Kami juga membawakan lagu Jangan Kau Henti dan Pilihanku dalam versi akustik. Ada juga sesi saat aku nyanyi sendiri dan Dikta bersama Yovie and Nuno. Acara yang diadakan hingga jam 12 malam itu pun sukses besar. Setelahnya, aku diajak Dikta untuk kembali ke hotel karena ia tak mau aku terlalu lelah. Maklum, dengan flight pagi, kami akan kembali ke Jakarta.
YOU ARE READING
My Sunglasses Man
General FictionDia adalah sosok kakak, calon suami, sekaligus pengganti sosok ayah bagiku. Kami sama-sama sudah tak memiliki ayah lagi. Dia hadir dihidupku lewat sebuah ketidak sengajaan. Awalnya, aku tak suka dengan sosok lelaki berkacamata. Tapi, dia, Dikta ku...