Begitu di rumah sakit, dokter menyarankan agar Dikta diopname karena ia terkena parathypoid. Selain itu, polyp di hidungnya juga harus dioperasi karena mulai mengganggu aktivitasnya. Ya. Aku tahu, belakangan ini, tunanganku itu sering pilek. Tapi, ia tak pernah mau mengatakan soal polyp itu padaku. "Ya...jadi gak puasa deh nih," keluh Dikta padaku. Kami sudah di ruang rawat. Mamaku segera mengabari mami di Bekasi dan beliau akan segera berangkat begitu Mas Leon datang. Maklum, mami memang tinggal dengan Mbak Arty, mas Leon, Oma dan Radhin. "Mas......yang penting itu, kondisi kamu. Insya Allah, kalau kamu nanti sembuh, puasanya diganti aja," bujukku. "Iya. Tapi kan, kamu sama mama puasa," balas Dikta. "Mas...kondisinya beda. Kamu lagi sakit, dan harus minum obat. Tadi udah aku tebus resepnya dan ini, kamu makan dulu. Nih. Baru aja dianterin makanan," hiburku. Aku akan menyuapi Dikta, namun, "Yang. Ntar aja. Lagi mual aku," ucap Dikta. "Ya udah. Nih, minum air putih hangat, trus, makannya pelan-pelan, aku suapin," sahutku. "Mmmm. Apa Nak Dikta enek sama menu disini? Atau mau mama beliin kecap aja? Soalnya, bubur dari rumah sakit kan, kadang tawar banget," usul mama. "Boleh, Ma. Biar Dini beliin kecap asin nanti," sahutku. "Kan, ada Pak Sakir, driver kita. Minta tolong beliin aja dulu," usul mama. Aku menurut. Malah, aku minta tolong driver ku itu untuk membeli beberapa barang, seperti tissue basah dan kering, plester kompres demam, kecap asin dan kecap manis, air mineral, minyak telon, minyak kayu putih, dan vicks. Malah, kulebihkan uangnya. Ini karena, Pak Sakir berinisiatif juga untuk ke apartemenku untuk mengambil bantal, bed cover, juga kasur lantai untuk yang menunggu di rumah sakit. Aku setuju. Malah, mama sempat menjaga Dikta sebentar sementara aku ke kantin rumah sakit untuk membeli kecap asin sachet agar Dikta bisa makan segera.
"Yang. udah," ucap Dikta saat ia kusuapi. Padahal, buburnya baru habis seperempat mangkuk. "Mas. Sekali lagi, ya," bujukku. "Udah, Yang. Agak enek aku," tolak Dikta halus. "Iya deh. Minum air hangat dulu, trus, bentar lagi, minum obat, Mas," sahutku. Dikta mengangguk. Ia masih lemas. Kukompres keningnya dengan kain kompres yang kubasahi air hangat. "Nak. Mama balur minyak kayu putih ya, tangan ama kakimu," ucap mama pada Dikta. Mama memang sudah menganggap Dikta seperti anaknya sendiri. "Iya. Makasih, Ma," balas Dikta. "Iya, Nak. Kamu itu, lain kali, jangan terlalu diforsir kerjanya," tegur mama. "Iya nih. Jangan bandel loh, Mas," balasku. "Lah. Kok bandel? Kamu juga sama," goda Dikta sambil memegang tanganku. "Dih...kamu ini..udah sakit gini, masih aja godain aku," ucapku sambil mengusap pipi Dikta dengan sayang. "Kan sama. Kamu juga bandel waktu sakit. Tetep loh, dirumah sakit, kerjain tesis juga," ujar Dikta. "Iya sih. Tapi kalau kamu, gak boleh. Mas. Polyp kamu harus dioperasi gitu kondisimu stabil," sahutku. "Iya. Sebenarnya sih, udah dari 2 bulan lalu disuruh operasi ama dokter. Cuma, aku masih gak mau. Takut," timpal Dikta. "Kan, ada aku. Aku temenin kamu," sahutku. Dikta tersenyum.
Esoknya, mami datang. Jadi, yang menunggu Dikta dirumah sakit, ada aku, mama dan mami juga. "Tuh kan. Masta nih, emang bandel. Makanya, gak boleh kecapean. Kumat kan," omel mami. "Mi. Gak kok. Lagi jalan Allah aja, dikasih sakit gini," timpal Dikta. Tak lama, aku datang juga. Aku baru saja selesai syuting untuk endorse sebuah brand wedding dress terkenal yang gaunnya bisa buat sendiri maupun rent gown alias disewakan. "Hey Sayang. Gimana? Masih pusing?," sapaku pada Dikta setelah aku menyalami mama dan mami. "Udah bisa duduk agak lama sih, dan pusingnya gak terlalu berasa. Cuma, kalau beneran lagi mual, gak bisa kupaksain makan, takut muntah," balas Dikta. "Oh iya. Gimana syuting tadi, Yang?," tanya Dikta padaku. Walau sakit, ia masih saja perhatian pada aktivitasku. "Lancar aja, sih. Untung tadi tuh, aku cuma difoto sendirian tanpa model cowok, hehehe. Kata pihak mereka sih, setelah kamu sembuh, baru deh, kamu difoto sendiri dan ada yang foto kita berdua nanti," jawabku. "Iya. Trus, itu kamu bawa apa?," tanya Dikta. "Aku bawain ini nih. Sup ayam sama telur rebus buat kamu. Kamu makan bubur pake sup ayam aja. Sini, aku suapin. Tadi aku sempet masak pagi-pagi sebelum pemotretan. Makanya, habis subuh, aku udah pamitan tadi sama kamu," jawabku seraya mulai menyiapkan makan siang bagi tunanganku. Kuhangatkan dulu buburnya di kitchen yang ada di kamar rawat Dikta. Lalu, sup ayam juga kuhangatkan lagi. Perlahan, kusuapi tunanganku tercinta.
YOU ARE READING
My Sunglasses Man
General FictionDia adalah sosok kakak, calon suami, sekaligus pengganti sosok ayah bagiku. Kami sama-sama sudah tak memiliki ayah lagi. Dia hadir dihidupku lewat sebuah ketidak sengajaan. Awalnya, aku tak suka dengan sosok lelaki berkacamata. Tapi, dia, Dikta ku...