🌱 After Rain Chapter 27 🌱

8 3 0
                                    

🌱 After Rain Chapter 27 🌱

Melihat Arin duduk sendirian di salah satu bangku kantin, Prima cs menghampiri dan duduk di sana. Karena jam istirahat, suasana kantin sangat ramai. Beruntung, mereka masih kebagian tempat di lantai bawah ini.

"Tumben tidak makan di atas?" ucap Arin sedikit heran, lantaran Prima cs memang lebih sering nongkrong di kantin atas ketimbang di bawah. Alasannya, selain bisa menikmati pemandangan dari atas, di sana suasananya tidak terlalu ramai karena perbedaan makanan dan minuman yang dijual. Harganya pun memiliki selisih yang cukup membuat kantong pas-pasan berpikir dua kali untuk membelinya.

"Tidak boleh?" Avril di samping kiri Arin yang jawab dan hanya dibalas lirikan datar oleh Arin.

"Anak itu tidak masuk?" tanya Prima, lalu mulai menikmati sop buahnya. Cuaca yang sangat cerah berawan memang akan nikmat bila ditemani yang segar-segar, apa lagi usai belajar.

"Izin. Ada urusan keluarga."

"Izin atau sakit?" tanya Prima lagi tanpa melihat lawan bicaranya.

Hal itu membuat Avril dan Alinzy melihat Prima sebentar lalu beralih menatap Arin. Mereka pikir, Judhy tidak masuk hari ini karena ada kaitannya dengan kejadian malam Minggu kemarin, tetapi kenapa Arin malah mengatakan kalau Judhy izin ada urusan keluarga?

Arin menatap Prima lebih dalam, meminta gadis berbando putih itu untuk bicara. Pasalnya, Arin memang berbohong.

"Dia sakit." Prima menyimpulkan sorot mata Arin.

"Sejak kapan kalian jadi penguntit?" Arin menyandarkan punggung ke kepala sofa, tangannya masih menggenggam sendok, tetapi tidak melanjutkan makan es krim vanila.

"Entahlah. Mungkin sejak anak itu jadi murid di sini," jawab Alinzy entah sadar atau tidak. Gadis yang sedang menikmati es krim coklatnya itu menjadi pusat perhatian.

"Mending nikmati es krimmu saja, deh, Zy." Avril yang menyadari tatapan tak suka dari Prima atas perkataan Alinzy, lantas menyendok es krim coklat milik Alinzy dan menyuapinya.

"Dari tatapanmu, aku yakin dia belum cerita tentang kejadian di jalan dekat taman Weringin Ijo," kata Prima pada Arin.

Arin menghela napas. "Ya, dia memang belum cerita soal pertemuannya dengan Jezrine. Jadi, apa kau mau menceritakannya, Ketua?" Arin mendekatkan wajah ke Prima dan disambut senyuman tenang yang penuh arti dari Prima. Senyuman yang menjadi ciri khas Prima ketika merasa terusik dan di saat bersamaan merendahkan lawan bicaranya.

"Aku tidak tahu apa yang Jezrine katakan pada sahabatmu itu, tapi aku lihat, mereka semakin akrab. Dan kau tahu kan, Jezrine orang yang seperti apa?"

"Ya, aku tahu. Tapi aku lebih percaya pada sahabatku. Jika dia sudah memutuskan, itu artinya dia sudah memikirkannya. Jadi kalau kau akan menjadikanku sebagai alat untuk menghalangi Jezrine berteman dengan Judhy, maka kau salah orang, Ketua."

Prima diam, dia melanjutkan memakan potongan buah yang bercampur es serut. Begitu juga Arin, dia kembali menikmati es krimnya.

"Kau tahu, Rin? Malam Minggu kemarin, Judhy bertarung dengan enam pria dewasa sekaligus."

Ucapan Alinzy itu seketika menghentikan kegiatan Arin. Gadis berkulit sawo matang itu menoleh Alinzy penuh tanya.

"Judhy bertarung dengan ... orang dewasa?"

"Ya. Untuk melindungi ibunya Jezrine yang diganggu pria dewasa," jelas Alinzy tidak sadar Prima menatapnya seolah Alinzy adalah mangsa.

"Bisa jelaskan lebih detail?"

Alinzy pun dengan senang hati bercerita mengenai kejadian di malan Minggu kemarin. Sementara Prima, dia memberi tatapan memperingatkan saat Avril hendak memotong cerita Alinzy pada Arin.

Alinzy terus bercerita dari mulai mereka memang sengaja datang ke taman Weringin Ijo untuk mengawasi Jezrine dan Judhy. Lalu, beralih ke ruang cctv untuk memastikan bahwa Jezrine tidak melakukan hal yang pernah dilakukan terhadap Aken. Hingga ... mereka tetap menunggu di luar taman, memastikan untuk terakhir kalinya bahwa Jezrine tidak melampaui batas.

Dan ...

"Untungnya saat Judhy mulai terpojok, Mas Krey datang. Setelah itu baru kami pulang."

... cerita berakhir. Prima manggut-manggut disertai senyuman saat Alinzy menolehnya. Beberapa saat kemudian, Alinzy yang mulai menyendok lagi es krimnya, seketika menyadari sesuatu. Dengan gerakan lambat dan ragu, Alinzy kembali melihat Prima. Gadis yang memiliki mata agak sipit itu lantas menarik kedua sudut bibirnya.

"Sepertinya aku terlalu banyak bicara," ucapnya pada Prima, lalu melihat Avril. "Ah, Vril, sepertinya Ketua kita mau ngobrol empat mata dengan Arin. Jadi lebih baik kita cari tempat lain." Alinzy kemudian meraih gelas dengan bentuk tabung tanpa tutup yang buncit di bagian tengah, kemudian beranjak pergi dari sana sambil merutuki diri.

"Silakan kalian lanjutkan," ujar Avril pada Prima dan Arin sebelum pergi.

Kini, Arin menatap Prima meminta penjelasan.

"Ada baiknya kau tanya langsung pada orangnya."

"Apa dia terluka?" tanya Arin lagi, khawatir. "Jujur saja, aku belum menemuinya. Dan ... aku hanya diberitahu Mas Krey kalau Judhy sedang ada urusan."

"Aku tidak tahu. Jalanan itu minim penerangan, jadi kami tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi sejauh aku mengamati, sepertinya dia kesakitan. Bukan sakit dari pukulan lawan, tapi dari dirinya sendiri. Apa dia mengidap suatu penyakit serius?"

Arin tak membalas, hanya menatap Prima dengan sorot datar.

Di sisi lain, orang yang sedang Arin dan Prima bicarakan, kelopak matanya tampak terbuka perlahan. Dia menyipitkan mata sesaat untuk menyesuaikan cahaya masuk ke retinanya. Sebelum akhirnya dia bangkit duduk sembari memegangi kepalanya karena merasa sedikit pusing.

"Akhirnya Non bangun juga."

Mendengar suara itu, sontak Judhy mengangkat kepala dan melihat wanita dewasa berjalan mendekatinya dari arah area sofa untuk bersantai berada.

"Sekarang hari apa Mbak Opin?" tanya Judhy merasa dirinya tidur terlalu lama.

"Senin, Non," jawab Mbak Opin seraya duduk di tepi ranjang, lalu menyodorkan minuman kepada Judhy yang dia ambil di atas nakas.

Judhy menerimanya, hanya menyesap sedikit sebelum tubuhnya kembali ambruk. "Tinggalkan aku sendiri, Mbak Opin."

"Tapi Nyonya meminta Mbak Opin untuk menjaga Non."

"Aku mohon."

"Baik, Non. Kalau butuh sesuatu panggil saja Mbak Opin atau orang yang ada di sini."

Judhy tak menjawab, dia menggerakkan tubuh untuk membelakangi Mbak Opin yang baru akan pergi.

Mbak Opin menengok sekali lagi sebelum benar-benar pergi.

"Aku yakin, obat yang Bunda berikan kemarin adalah racikannya sendiri. Dia mencampurkan obat tidur dengan dosis tinggi agar aku tidak masuk sekolah hari ini. Kenapa Bunda tega melakukannya?" gumam Judhy, matanya berkaca-kaca.

Sedetik kemudian keningnya mengernyit, memori dalam kepalanya terputar begitu saja seperti sedang menonton film.

Judhy berdiri menunduk di hadapan sang ayah. Pria berkacamata itu duduk di balik meja kerja yang dipenuhi dengan beberapa penggaris kayu, besi, serta gunting, dan beberapa tumpukan kertas dan buku.

"Aku sudah jadi muslim," kata Judhy tanpa melihat Tuan Yohan. Namun Judhy bisa merasakan aura kemarahan dari ayahnya.

"Katakan sekali lagi."

"Keyakinanku sudah tidak sama dengan Bunda maupun Ayah." Judhy masih menunduk, tidak berani melihat mata Tuan Yohan.

Saat Tuan Yohan bangkit berdiri dan menghampirinya, Judhy baru mau melihat Tuan Yohan. Itu pun hanya sebentar.

"Kau yakin dengan ucapanmu?"

...

Gimana untuk chapter ini?
___

Diketik: Selasa, 7 Maret 2023

Dipublikasikan: Minggu, 12 Maret 2023 (20.00 WIB)

After Rain Season 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang