Rintik hujan jatuh di permukaan kolam ikan depan rumah Bara. Tetesnya membentuk gelombang-gelombang lingkaran kecil yang semakin membesar dan bertabrakan satu sama lain. Ikan-ikan yang berenang di bawah gelombang itu dipandangi saja oleh Bara yang duduk bersila di tepi teras. Dulu sebelum ia pindah ke rumah ibunya, dialah yang merawat ikan-ikan itu. Memberinya makan setiap pagi dan membersihkan kolam sesekali. Bara tak mengira ikan-ikan itu masih ada di sana ketika ia kembali. Mungkin ayahnya yang memberi makan. Atau mungkin ikan-ikan itu hebat dalam bertahan hidup, seperti Bara.
Beberapa saat yang lalu Bara berbicara dengan ibunya melalui ponsel. Memberikan kabar bahwa ia sudah bisa masuk kuliah besok. Ibunya senang bukan main. Bara mau tidak mau ikut merasakan bahagia. Apapun yang diinginkan ibunya, akan Bara turuti. Ia hanya perlu bertahan hingga kuliahnya selesai.
Sudah hampir seminggu Bara kembali ke tempat ini, tempat di mana ia menghabiskan sebagian besar hidupnya. Tetapi ia masih merasa asing. Dan Bara tahu betul apa yang hilang, apa yang membuatnya terasing. Dua orang yang dulu selalu berada di sisi Bara seakan semakin menjauh. Bara mengharap kepulangannya ke tempat ini akan mengisi ruang kosong di sudut hatinya, tetapi kekosongan itu semakin menganga lebar.
Dingin mulai menyerang kulit Bara hingga ia memutuskan untuk menyingkirkan toples plastik berisi makanan ikan itu dan menyeret langkahnya masuk ke dalam. Ia menemukan ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu entah sejak kapan. Sudah lama sekali Bara tak memiliki percakapan yang baik dengan ayahnya sejak ibunya pergi dari rumah. Yang ada hanya perdebatan demi perdebatan yang membuat Bara lelah. Tetapi kali ini Bara harus banyak menghabiskan waktunya di rumah, ia tak bisa keluyuran dengan bebas lagi seperti dulu.
“Besok Bara udah mulai masuk kuliah,” ucap Bara pendek pada ayahnya yang kemudian menoleh ke arah Bara lalu mengangguk sekilas. Bara melanjutkan langkahnya kembali menuju kamarnya.
ㅡ
Meski pesan itu masuk ke ponselnya sejak beberapa hari lalu, tetapi Bintang masih belum membalasnya. Lebih tepatnya ia tidak tahu bagaimana harus memberikan jawaban untuk pesan Bara itu. Untuk bertemu Bara berarti Bintang harus memberitahukan kepada Biru. Dan Bintang tidak yakin Biru akan memberikan reaksi yang baik akan hal itu.
“Lo ngapain sih, Bin? Kayak orang linglung gitu,” tegur Evan, teman dekat Bintang.
“Hah? Nggak ada apa-apa,” kilah Bintang, sesegera mungkin mengembalikan fokusnya pada layar laptop.
“Nggak usah bohong sama gue. Kenapa?”
Evan menyingkirkan laptop dari hadapan Bintang hingga cowok itu tak memiliki pilihan lain selain menatap wajah temannya. Bintang menggigit bibirnya bingung sebelum ia mulai berbicara.
“Van, Bara pulang.”
Kalimat itu singkat dan diucap dengan pelan, tetapi Evan seketika membuka mulutnya lebar-lebar.
“Maksud lo? Pulang ke rumahnya? Ke sini lagi?”
“Iya.”
“Wah, gila. Ngapain? Mau ketemu sama lo?”
“Mau lanjut kuliah, Van. Tapi- dia emang mau ngajak gue ketemu. Sebelumnya dia udah mampir ke rumah gue tiba-tiba.”
Evan melotot hingga sepasang bola matanya hampir mencelat keluar.
“The audacity?? Nggak lo iyain kan, Bin?” tanya Evan pada Bintang yang tak segera menjawab. “Bin? Seriously?”
“Gue belom ngasih jawaban apa-apa, Van. Tapi kayaknya gue butuh ngobrol sama dia.”
“Buat apa?”
Bintang melayangkan tangannya ke udara, frustrasi atas situasinya. “Gue- Bara nggak pernah ngabarin gue lagi semenjak dia pergi. Gue butuh penjelasan dari dia, Van.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang
Fanfiction- Pulang. Jika rumah adalah tempat untuk kita berpulang, maka ke manakah Bara harus melangkah? [part of Jejak di Antara Semesta series]