18. Bitter Pill

259 34 1
                                    

Seperti terlahir ke dunia dengan sedikit yang kau tahu, Bara juga merasa seperti anak kecil yang harus meraba-raba. Semenjak insiden kecelakaan itu Bara harus memulai hidupnya dari nol lagi. Jika ia memang terlahir lagi menjadi anak kecil yang tak tahu apa-apa, mungkin ia akan dengan senang hati belajar mencari tahu semua tentang dunia ini. Tapi nyatanya Bara bukan anak kecil lagi. Ia merasa tertinggal banyak hal yang seharusnya ia tahu. Dan entah butuh berapa lama untuk mengejarnya.

Bara sedang duduk di teras dengan sebuah buku catatan di pangkuan ketika Rendra datang. Wajahnya langsung cerah.

"Rendra."

Hari ini Bara masih mengingat namanya, Rendra merasa lega.

"Gue kepagian, ya?" Rendra duduk di sebelah Bara. "Lo udah sarapan belom?"

"Udah, kok. Gue seneng lo dateng cepet. Biar gue ada temennya."

"Emangnya di rumah lagi nggak ada orang?"

Bara menggeleng. "Bapak pergi kerja. Ibu baru balik nanti sore dari rumah nenek sama Adis."

Sebelumnya Rendra sudah diberitahu oleh ayah Bara kalau Bara tidak mengingat perpisahan orangtuanya dan membiarkan agar Bara tetap seperti itu saja hingga nanti ingatannya kembali. Ibunya pasti beralasan sedang pergi ke tempat neneknya selama ia harus pulang ke rumahnya sendiri meninggalkan Bara, pikir Rendra.

"Lo lagi ngapain?" Rendra mendekatkan kursinya, mengintip buku catatan di pangkuan Bara.

"Kata Ibu ini bisa ngebantu ingatan gue balik. Nyatet apa aja yang gue lakuin atau apapun yang gue inget."

Di bawah hari dan tanggal yang tersemat di sudut halaman itu, ada beberapa baris yang sudah ditulis Bara sebelum Rendra datang. Salah satunya adalah nama Bintang dan Rendra. Sepertinya Bara tidak ingin lupa tentang kedua temannya itu. Hal lain yang ditulisnya adalah kegiatannya setelah bangun tidur, menu sarapan, serta acara televisi yang sempat ditontonnya.

"Coba hape gue nggak rusak," ucap Bara tiba-tiba. "Pasti ada banyak informasi penting di situ. Entah foto, video, atau mungkin percakapan antara gue sama lo."

Untuk sesaat Rendra menegang sebelum diam-diam menarik napas lega. Tak seharusnya ia bersyukur ponsel Bara rusak. Tetapi lebih baik Bara tak melihat percakapan terakhir mereka.

"Lagian ada gue sekarang di sini. Lo bisa tanya langsung aja ke gue," yakin Rendra.

"Iya. Gue pengen tau banyak hal. Lo nggak papa, kan, nemenin gue seharian?"

"Aman. Hari ini gue free."

Sepertinya memang banyak yang Bara ingin ketahui sebab pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir. Bara ingin tahu cerita masa kecil mereka, bagaimana mereka bisa berteman, kesan pertama Rendra tentang Bara, lalu beralih pada kehidupan Rendra. Bara ingin tahu semuanya dan Rendra menceritakan satu persatu tanpa harus membongkar hal-hal yang ingin disimpannya sendiri. Cerita yang terlontar dari bibir Rendra semuanya manis. Tujuannya hanya satu, agar Bara tak memiliki kenangan buruk. Terlebih tentang dirinya.

Saking sibuknya Rendra bercerita, ia tak sadar ternyata tangan Bara tak henti menggoreskan pensil di permukaan kertas. Hasilnya bukan catatan seperti sebelumnya, tetapi sketsa wajah Rendra yang hampir sempurna.

"Bar, itu..." Rendra menghentikan ceritanya untuk memperhatikan coretan di atas kertas. "Lo nggak catet yang gue omongin?"

Bara melihat sketsa yang dibuatnya dengan senyum kecil lalu menoleh pada Rendra. Jarinya mengetuk pelipis.

"Gue catet di sini aja. Gue lumayan yakin gue nggak akan lupa sama lo dan cerita lo."

Rendra mengatupkan bibirnya, tak tahu harus menanggapi apa sebelum mengucap pelan. "Okay..."

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang