Berkali-kali Rendra menatap layar ponselnya, membaca dua buah pesan baru yang masuk begitu Rendra mengaktifkan ponselnya kembali di pagi hari. Jika itu adalah pesan biasa dari Bara maka Rendra masih bisa mengabaikan. Tetapi pesan yang berisi bahwa Bara sudah sampai di rumah ayahnya, Bara berada tidak jauh darinya itulah yang membuat pikiran Rendra kacau. Ia sudah hampir melesat menuju kediaman Bara saat ini kalau saja ia tidak ingat pesan Aksa yang sudah berulang-kali diucapkan padanya.
“Jangan apa-apa cuman buat Bara. Pikirin diri lo sendiri.”
Suara klakson motor mengejutkan Rendra. Buru-buru ia menyambar tasnya dan keluar dari rumah. Aksa sudah menunggu di depan gerbang dengan motornya.
“Mau sarapan apa, nih? Gue pengen nasi uduk, deh.”
Rendra tidak menghiraukan ucapan Aksa. Sebagai gantinya ia menarik ujung jaket cowok itu.
“Kenapa?” Aksa mengangkat satu alisnya.
“Sa, gue… Kayaknya gue nggak masuk dulu, deh.”
“Lo sakit?” tanya Aksa sambil mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi Rendra.
“Nggak, Sa.” Rendra menepis tangan Aksa darinya. Ia menggerakkan kakinya gelisah.
“Kenapa, sih? Ada apaan?”
Rendra menghembuskan napas melalui mulutnya lalu menunjukkan layar ponselnya kepada Aksa. Cowok di depannya itu menyipitkan matanya membaca pesan yang tertera di layar. Beberapa saat kemudian keningnya berkerut.
“Bara balik ke sini?” tanya Aksa.
Rendra mengangguk pelan.
“Ck, terus kenapa? Lo nggak masuk ke kampus cuman gara-gara itu? Jangan bilang lo mau nyamperin dia?”
“Dia masih temen gue, Sa. Aneh kalo gue nggak nyamperin dia.”
Aksa bukannya melarang Rendra untuk bertemu Bara. Tetapi ia tahu pertahanan Rendra akan langsung runtuh begitu ia bertemu dengan sahabatnya itu. Dan usahanya untuk membuat Rendra tidak lagi selalu memprioritaskan Bara akan pupus sia-sia.
“Ya, udah,” ucap Aksa akhirnya. “Lo samperin dia aja nanti habis selesai kampus. Jangan lo jadi bolos gara-gara mau nyamperin dia.”
Rendra merasa ucapan Aksa ada benarnya. Ia tidak harus sampai izin hanya untuk bertemu Bara. Tetapi hati kecilnya berteriak meminta untuk segera melihat cowok itu. Lagi-lagi harus diredamnya keinginan itu.
Diputuskan untuk menemui Bara nanti saja selepas kegiatan kuliahnya selesai. Toh, kalau ia memaksa untuk bertemu dengan Bara sekarang, apa yang ia harapkan? Janji Bara untuk mendatangi Rendra kalau ia kembali ke sini pun tak ia penuhi. Jadi untuk apa Rendra yang harus kembali mengalah dan berlari menemui Bara lebih dulu?
ㅡ
Suasana di meja makan pagi itu terasa sangat canggung. Bara beberapa kali hanya mengaduk tehnya yang mulai mendingin sementara ayahnya duduk di seberang meja. Suara halaman koran yang dibalik menjadi satu-satunya suara yang memenuhi ruangan.
Bara merasa jenuh. Rendra tak kunjung membalas pesannya sehingga rencananya untuk menemui cowok itu belum bisa dipastikan. Tetapi bertahan di sini bersama lelaki yang belum juga mengajaknya bicara itu membuat Bara tidak betah. Semalam ia ketiduran di sofa ruang tengah dan begitu ia bangun esok harinya sang ayah sudah sibuk di dapur membuat teh yang kemudian dibaginya juga kepada Bara.
Merasa tak akan ada percakapan yang tercipta, Bara akhirnya bangkit berdiri. Suara decit kursi yang beradu dengan lantai membuat ayahnya menurunkan koran yang dibacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang
Fanfiction- Pulang. Jika rumah adalah tempat untuk kita berpulang, maka ke manakah Bara harus melangkah? [part of Jejak di Antara Semesta series]