12. Tidak Pernah Ada Rumah

308 33 6
                                    

Sebagaimana hembus angin malam membelai dedaunan dan membuatnya bergoyang menggigil, pertanyaan yang terlempar dari bibir Bintang pun menyelimuti Bara dengan kebekuan mutlak.

"Lo suka ya, sama Rendra?"

Bintang hanya menanyainya sekali. Tetapi rasanya pertanyaan itu terus menggema di telinga Bara. Dengan setiap gema Bara berharap apa yang didengarnya keliru. Namun cara Bintang menatapnya membuat Bara tersadar bahwa ia bersungguh-sungguh.

Bara melepas hela napas, setengah tertawa. Seakan-akan Bintang baru saja mengucapkan sesuatu yang paling absurd dalam hidupnya.

"Gimana? Sori, gue nggak nangkep maksud lo."

Giliran Bintang yang terdiam. Ia sadar tak bisa semudah itu melempar asumsinya, terlebih beberapa hari lalu Bara mengatakan bahwa ia masih memiliki perasaan untuk Bintang.

"Gue tau Rendra temen lo, Bar. Temen lo dari kecil, yang ngabisin banyak waktu bareng sama lo." Bintang berusaha mengatakan kalimatnya dengan hati-hati. Diperhatikannya ekspresi wajah Bara selagi ia berbicara. "Gue juga paham lo pasti khawatir karena Rendra ngehindarin lo. Tapi lo sadar nggak sih, Bar?"

Bara menatap Bintang dengan ketegangan pada sorot matanya. Ia menunggu kalimat Bintang selanjutnya.

"Lo dateng ke sini. Ke rumah gue. Semalem ini. Lo panik segala macem dan bahkan lo nggak denger gue ngomong karena lo sibuk khawatir soal Rendra."

"Bin-"

"Bar, lo dateng ke gue. Gue yang baru beberapa hari lalu lo kasih tau soal gimana perasaan lo ke gue."

Bara bangkit dari kursinya, mendecakkan lidahnya keras. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling seakan mencari jawaban yang tepat. Detik berikutnya ia menatap tepat pada sepasang manik mata Bintang, berucap dengan sungguh-sungguh.

"Gue emang masih nyimpen perasaan buat lo, Bintang. Tiap malem gue selalu mimpi lo sejak kita pisah. Gue balik ke sini juga karena gue pengen ketemu lo."

Bintang menggelengkan kepala, tatapannya jatuh pada tangannya yang berada di pangkuan.

"I don't think you still like me like you used to, Bar."

Bara mengusap wajahnya kasar. Ia berjalan mondar-mandir seperti orang yang sedang dilanda dilema hebat. Kemudian langkah kakinya berhenti.

"Gue yang paham perasaan gue sendiri, Bin. Jadi tolong, jangan bahas hal yang nggak ada urusannya sama niat gue dateng ke sini. Gue cuma butuh saran dari lo soal-"

"Nggak bisa gitu caranya, Bar!" seru Bintang. Cowok itu mulai kehilangan tenangnya. "Ini jelas ada hubungannya. Lo nggak pengen Rendra ninggalin lo, berarti lo harus jujur sama diri lo sendiri."

"Jujur soal apa lagi?"

"Soal perasaan lo ke Rendra."

"Ck, Bin, gue udah bilang-"

Bintang akhirnya ikut bangkit berdiri, mensejajarkan tatapan matanya pada Bara.

"Kenapa sih, Bar, lo nggak pernah mau jujur sama diri lo sendiri?"

Pertanyaan Bintang membuat Bara tertegun.

"Dari dulu," lanjut Bintang. "Waktu gue belom kenal sama Biru, sampe akhirnya gue deket sama dia. Lo susah banget ngakuin soal perasaan lo ke gue. We could've saved so much time, Bar. Nggak perlu banyak hati yang harus kita bikin sakit. Gue nggak perlu sakit, lo nggak perlu sakit. Dan lo nggak perlu pergi jauh dari sini cuma buat mimpiin gue terus tiap malem, mikirin apa yang bisa lo lakuin buat memperbaiki hal yang lo mulai sendiri. Semuanya nggak perlu terjadi kalo lo mau jujur, Bar."

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang