4. In The Same Frame

376 42 4
                                    

Suara ketukan pintu terdengar dari dalam rumah Bintang. Kakak Bintang yang sedang menikmati makanannya di ruang makan langsung menyerukan nama adiknya.

"Abinnn! Ada tamu ituu!"

"Abin lagi sibuk, Kak!" sahut Bintang dari dalam kamarnya.

"Abin jangan pura-pura budek, bukain pintunya!" seru kakaknya lagi.

Bintang mendecakkan lidahnya kesal. Ditinggalkannya laptop yang masih menyala di atas meja belajarnya dan bergegas keluar kamar. Ia melewati kakaknya yang berada di meja makan sambil menggerutu.

"Abin terus yang disuruh."

"Dih, orang Kakak lagi makan. Udah sana bukain."

Dengan enggan Bintang menyeret kakinya menuju pintu depan. Entah siapa yang bertamu petang hari seperti ini. Mungkin teman ibunya yang memiliki urusan dengan sang ibu atau tetangganya yang sedang mengirim makanan dari acara hajatan.

Tetapi begitu Bintang membuka pintu, matanya seketika melebar. Tubuh Bintang membeku dan lidahnya seakan kelu hingga ia tak bisa mengucap apapun ketika seseorang di hadapannya itu menyapa dirinya.

"Hei."

Bintang merasa tangannya mendingin. Ia masih memegang kenop pintu dengan kuat. Matanya sama sekali tak mempercayai apa yang dilihatnya.

"Bintang."

Seperti ada hantaman kuat pada puncak kepalanya ketika namanya disebut oleh suara itu. Suara yang sudah lama sekali tak didengar hingga Bintang hampir lupa rasanya dipanggil kembali oleh suara itu. Semua kenangan yang tersimpan rapat di sudut pikirannya mulai tumpah membanjiri Bintang. Semua kenangan manis dan pahit bercampur menjadi satu.

"Bintang, ayo berangkat."

"Kalo kemaleman gue jemput aja, Bin. Bahaya."

"Gue sabtu mau futsal. Lo ikut nonton, nggak?"

"Udahan dulu motretnya. Itu makanan keburu dingin, Bintang."

"Gue nggak bisa sama lo, Bintang..."

"Gue bakal ikut sama Ibu."

Memori demi memori menghujani Bintang begitu derasnya hingga tubuhnya tiba-tiba limbung. Bara harus mengulurkan tangan untuk menangkap lengan Bintang agar cowok itu tidak oleng. Suara seseorang kemudian terdengar dari dalam rumah.

"Siapa, Bin, tamunya?" tanya ibu Bintang sambil menghampiri anaknya di pintu depan. Wajahnya terkejut melihat siapa yang ada di sana. "Ya, ampun. Bara? Kok, Bunda nggak tahu kamu mau ke sini? Ayo, masuk masuk!"

"I-Iya, Bunda," balas Bara sembari mengangguk pelan. Ia membiarkan wanita itu kembali ke dalam lebih dulu sementara Bintang masih bertahan di tempatnya. Cowok itu hanya terdiam, tak lagi menatap ke arah Bara.

"Bin, gue boleh masuk?" tanya Bara pelan.

Seakan tersadarkan kembali oleh realita, Bintang buru-buru menggeser badannya untuk memberi jalan kepada Bara. Perlahan Bara membiarkan dirinya masuk ke rumah Bintang sementara Bintang menutup pintunya. Napas yang sempat tertahan dihela dengan keras sebelum Bintang menyusul masuk.

Bara selalu disambut dengan hangat di rumah Bintang. Ketika Bara menyebutkan bahwa rumah ini seperti rumah keduanya, ia tidak berbohong. Ibu Bara selalu memperlakukannya dengan baik, seakan Bara adalah anaknya sendiri.

"Duduk, Bar. Udah makan belum kamu? Bunda ambilin makan, ya?"

"Bar, duduk sini. Gue udah kelar makan, kok," ucap Bulan, kakak Bintang itu mulai membereskan piringnya dan bangkit dari kursinya. "Abin, Bara suruh duduk sini."

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang