10. Out of Orbit

302 40 16
                                        

Bara menyaksikannya dengan kedua mata miliknya. Bagaimana Bintang mencoba menahan Biru, diikuti dengan usaha menghubungi melalui ponsel setelah Biru memutuskan untuk tetap pergi. Rasa takut dan cemas terpampang nyata di raut wajah Bintang.

Meski sudah coba ditelannya perasaan itu beberapa waktu lamanya, namun melihatnya secara langsung membuat Bara seketika tertampar. Tempatnya sudah begitu jauh di sudut hati Bintang. Ia bukan lagi prioritas untuk Bintang. Posisinya sudah tergantikan oleh seseorang yang datang lebih lambat dalam hidup Bintang.

"Bin," panggil Bara. "Bintang."

Bara sampai harus menarik tangannya hingga Bintang menoleh padanya.

"Bin, lo tenang dulu."

"Bar, tapi Biru-"

"Gue yang ngomong sama dia. Gue jelasin semuanya."

Bintang menggeleng kuat. "Nggak bisa, Bar. Biru pasti makin salah paham kalo lo yang ngomong ke dia. Harus gue."

"Lagian kenapa ada Biru di rumah lo?" tanya Bara.

"Dia yang akhirnya ngizinin gue buat ngobrol sama lo, Bar. Tapi dia harus ada di sini."

Bara mengerutkan keningnya bingung. "Buat apa? Ngawasin lo? Segitu nggak percayanya dia sama lo?"

Bintang mendecakkan lidahnya frustrasi. "Itu nggak penting sekarang. Gue perlu ngomong sama Biru."

"Gue bantuin." Bara tetap mendesak. Bagaimanapun juga ia ikut andil dalam masalah ini.

"Bar, please. Lo pulang aja, ya? Biar gue yang nyelesaiin ini sama Biru."

Ada permohonan yang sangat mendalam pada ucapan Bintang hingga Bara tak memiliki pilihan lain selain menurutinya. Meski dengan berat hati, Bara akhirnya melangkahkan kakinya menuju motornya kemudian pergi.

Aksa menggulirkan layar ponselnya berulang-kali, menunggu balasan pesan yang dikirimkannya kepada Rendra. Namun sejak semalam cowok itu tidak responsif. Panggilannya juga tidak diangkat. Aksa memutuskan untuk nekat pergi ke rumah Rendra.

Begitu sampai di depan pintu rumah Rendra, hanya dengan beberapa kali ketukan pintu itu seketika dibuka. Wajah Rendra muncul di hadapan Aksa dan yang pertama kali dilihatnya adalah kekecewaan. Sedetik kemudian Rendra terlihat kesal.

"Udah gue bilang jangan ke rumah gue dulu," omel Rendra.

"Emangnya kenapa?" balas Aksa enteng. Ia malah mempersilakan dirinya sendiri untuk masuk ke dalam.

"Aksa," panggil Rendra, mengikuti cowok itu yang sudah melangkah menuju sofa.

Aksa menjatuhkan dirinya di atas sofa besar milik Rendra. Rendra memandangnya dengan muka kusut.

"Lo masih takut Bara marah gara-gara gue sering main ke sini?" tembak Aksa. Rendra tak menjawab. "Ren, sini deh."

Ragu-ragu Rendra menyeret kakinya untuk duduk di dekat Aksa. Cowok itu menariknya hingga tak ada lagi jarak yang tersisa di antara keduanya.

"Rendra." Aksa memanggilnya dengan intonasi paling halus yang pernah Rendra dengar dari bibir cowok itu. "Gue udah sering banget bilang sama lo. Berhenti nempatin Bara di pusat hidup lo. In the end of the day, you only have yourself."

"Sa, Bara itu sahabat gue."

"Gue tau. Tapi bukan berarti lo harus selalu ngorbanin diri lo buat dia. Sekarang gue tanya, apa dia pernah ngelakuin sesuatu semata-mata demi lo?"

Aksa tidak ada di sana ketika Bara selalu melindungi Rendra dari orang-orang yang berniat buruk padanya. Meski Rendra menceritakannya, mungkin Aksa tidak akan benar-benar paham bagaimana Bara menjadi seseorang yang sangat penting di hidup Rendra.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang