1. Puzzle

711 46 2
                                    

Bara terbangun dengan keringat yang sudah membasahi kerah bajunya. Napasnya tersengal sementara ia mencoba melihat ke sekeliling ruangan. Masih di kamarnya. Bara menutup wajahnya sejenak untuk mengingat itu hari apa dan apa yang dilakukannya sebelum ia tertidur. Setelah pikirannya cukup jernih untuk memilah yang mana realita dan yang mana mimpi belaka, Bara menjangkau ponselnya yang berada di atas meja.

Dua panggilan tidak terjawab dari Rendra.

Bara memang selalu meminta Rendra untuk menghubunginya dan membagi informasi tentang keadaannya. Ia masih tetap ingin mengetahui kabar sahabatnya itu meskipun mereka tak lagi berdekatan. Serta masih ada satu tanggung jawab yang selalu berusaha Bara jalankan, dan itu adalah melindungi Rendra. Tidak banyak yang bisa dilakukannya setelah dirinya memutuskan untuk pindah ke rumah ibunya. Biasanya Bara yang selalu memastikan apakah Rendra sudah makan sebanyak tiga kali dalam sehari, memaksanya untuk mengonsumsi sayur dan menjaga kesehatannya. Tetapi kali ini Bara hanya bisa mengingatkannya sesekali melalui pesan, tidak bisa memastikannya secara langsung.

Setelah mengambil segelas air di dapur, Bara menyeret langkahnya ke ruang tengah. Di bawah meja terdapat sebuah puzzle berukuran cukup besar yang kemudian diletakkan Bara di atas meja. Puzzle itu masih jauh dari kata sempurna. Hanya sebagian kecil yang sudah terselesaikan. Bara kembali mengambil kepingan puzzle itu dan mulai menyelesaikannya.

Setiap satu keping yang terpasang, sepersekian detik pula pikiran Bara teralihkan dari mimpinya beberapa saat yang lalu. Keping demi keping yang kemudian membentuk gambar yang utuh itu bagaikan penawar untuk pikiran Bara yang kusut. Bara meletakkan satu keping yang menjadikan gambar langit di malam hari itu mulai terbentuk.

Hela napas terhembus dari mulut Bara. Bagian yang baru saja dikerjakannya akhirnya membentuk satu gambar bintang yang sempurna. Letaknya di sudut langit.

Lama Bara memandangi bintang tersebut. Kemudian ia mendenguskan tawa pahit setelah merasa ditampar oleh realita. Memang selamanya ia tidak bisa menghindar.

Cahaya Bintang Asghara.

Satu nama yang memiliki efek yang kuat untuk Bara. Bahkan alam bawah sadarnya pun memaksa dirinya untuk selalu ingat. Tak ada sehari pun Bara tidak memimpikan Bintang semenjak perpisahan mereka. Awalnya memang terasa sangat berat. Tetapi kini Bara berpikiran bahwa mungkin memang inilah konsekuensi yang harus diterimanya. Untuk semua luka yang pernah diberikannya kepada Bintang, inilah saatnya ia mendapatkan balasannya.

Dadanya selalu terasa ngilu setiap perasaan itu hadir. Dan Bara harus segera mengalihkan fokusnya lagi. Puzzle di depannya sudah tak lagi membantu. Bara perlu mendengarkan suara orang lain agar suara-suara berisik di kepalanya tak lagi mengganggu. Diambilnya ponsel yang tergeletak di atas meja.

“Ren. Sori, lo udah tidur, ya?”

Suara di seberang mulai memenuhi telinga Bara. Perlahan sudut bibirnya terangkat. Mendengar ocehan Rendra memang salah satu cara terbaik untuk melupakan kesedihannya. Malam itu Bara kembali tertidur setelah obrolan panjang melalui ponsel dengan Rendra.

“Bu, Abang berangkat dulu.”

Jam menunjukkan pukul delapan lebih ketika Bara sudah bersiap untuk keluar rumah. Ia baru memakai sebelah sepatunya ketika ibunya terburu-buru menghampirinya dari dapur. Di tangannya ada satu rantang bekal makanan yang kemudian diberikannya pada Bara.

“Buat bekal Abang,” kata ibunya.

“Banyak banget, Bu,” balas Bara sambil menerima bekal itu dari ibunya.

“Sarapan sekalian makan siang. Abang pasti nggak pernah nyempetin sarapan.”

Bara tersenyum. “Makasih, ya, Bu? Abang berangkat.”

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang