17. Melupakan Luka

326 38 3
                                        

Seorang wanita tengah berbicara dengan dokter di dekat pintu, di sebelahnya ada lelaki yang menyimak percakapan sama seriusnya. Momen itu dipandangi saja oleh Bara yang masih terbaring di atas ranjang. Ia tahu siapa mereka. Ayah dan ibunya.

Bara menoleh ke samping, ke arah seorang gadis remaja yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya. Bara juga tahu siapa gadis itu. Adista, adik perempuannya.

Namun hanya itu yang diingatnya. Hal-hal selain itu adalah memori yang begitu samar bahkan asing.

"Abang pulang ke rumah hari ini, ya?" ucap ibunya disertai senyum di wajah yang begitu cerah menenangkan. Bara tak memiliki pilihan lain selain membalas senyumnya.

Hanya itu yang dilakukannya beberapa hari ini. Memberikan senyum canggung, mengucap sepatah dua patah kata, dan selebihnya diam. Jangankan mengingat orang-orang yang datang menjenguknya, alasan ia terbaring di ranjang rumah sakit ini saja Bara tidak ingat.

Kecelakaan motor. Itu saja penjelasan dari ibunya ketika Bara bertanya. Separah apa kecelakaan itu hingga ia susah mengingat banyak hal, Bara tidak tahu.

Beberapa hari yang lalu datang temannya bernama Bintang dan Bara bersumpah ia seperti mengenali wajahnya tapi lupa nama. Rasa terkejut dan kecewa yang terlintas di wajah Bintang saat itu membuat Bara merasa bersalah dan jengkel pada keadaan. Tetapi Bintang terus bercerita tentangnya dan apa saja yang pernah mereka lakukan bersama. Tiga hari Bintang terus mengunjunginya dan tak henti mengulang cerita yang sama hingga Bara mulai ingat bahwa cowok itu memang seseorang yang dekat dengannya. Meski kenangan-kenangan itu masih terasa acak, tapi Bara mengingat Bintang.

Lalu ada lagi yang datang sesudahnya. Bintang yang menyebutkan nama cowok itu. Entah, Bara sudah lupa lagi. Ia hanya ingat cowok itu datang sebentar sebelum menghilang. Bara tidak tahu apakah ia teman dekatnya seperti Bintang atau hanya sekadar kenal.

Bara melihat ayahnya membantunya duduk di kursi roda. Ada perasaan asing yang menyelimuti Bara ketika sang ayah ada di dekatnya tetapi ia tak tahu pasti itu perasaan apa.

Jalan pulang menuju rumah tidak Bara ingat namun ia mengenali rumahnya begitu mereka sampai. Bara tahu di mana kamarnya. Ia sedikit lega ada sesuatu yang setidaknya terasa familiar.

Meski sudah diperbolehkan pulang, Bara masih harus banyak istirahat dan semua aktivitasnya perlu bantuan ibunya. Wanita itu yang membersihkan badannya, mengganti bajunya, dan menyuapinya makan. Bara paling merasa nyaman ditemani ibunya dibandingkan orang lain.

“Abang masih ada yang kerasa sakit badannya?” tanya ibunya ketika wanita itu tengah menyuapi Bara.

Bagian dadanya sedikit nyeri untuk mengambil napas dan kepala bagian belakang kadang-kadang berdenyut ngilu tetapi Bara memilih untuk menahannya sendiri.

“Nggak, Bu.”

Kemudian ibunya mulai memberikan pertanyaan ringan yang kerap dilakukannya beberapa hari ini setelah Bara tersadar. Dokter menyarankan untuk melatih ingatan Bara.

“Namanya Abang?”

“Bara. Baraditya Saputra.”

“Adek?”

“Adista Kirana.”

“Apa lagi?”

Bara menarik napas dalam lalu mulai melontarkan informasi acak tentang dirinya.

“Abang lahir tanggal 12 April, sekarang kuliah Teknik Mesin. Abang suka gambar, main futsal. Abang paling suka oseng tempe bikinan Ibu yang biasa Ibu masakin tiap Abang pulang sekolah.” Bara berhenti sejenak sementara ibunya terus mendorongnya dengan senyum yang tak pernah lepas. “Abang punya temen namanya Bintang…”

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang