20. Tak Selamanya Mengalah Adalah Kalah

416 38 2
                                    

Di hadapan pusara itu Aksa membiarkan dirinya remuk. Lagi. Kulitnya sedingin air hujan yang belum berhenti tercurah. Bibirnya sepucat wajah seseorang yang terakhir kali dilihatnya sebelum dipeluk bumi. Tetapi Aksa tidak peduli. Rasa sakit di dadanya mematikan semua sensor tubuhnya.

...

"Bagas, aku harus ikut besok. Aku udah janji sama mereka."

"Aku nggak ngizinin. Kamu tahu sendiri kondisi kamu kayak apa."

"Tapi aku nggak enak sama mereka."

"Biar aku yang bilang."

"Mereka temen-temen aku, Gas."

"Aku pacar kamu. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Aku nggak bisa jagain kamu di sana."

"Bagas, kamu sadar nggak kalo kamu egois?"

...

"Pacar lo kecelakaan, Gas!"

"Bukannya dia pergi sama lo? Kenapa pulangnya sendiri, Gas? Kalian berantem?"

"Parah banget lo, Gas. Kenapa lo biarin dia pulang sendiri?"

"Bukan salahnya Bagas."

"Maaf, Gas. Dia udah nggak ada."

"Kalo waktu itu lo anterin dia pulang, dia nggak harus malem-malem cari tumpangan sendiri."

...

Tak pernah sedikitpun rasa bersalah itu surut tiap kali Aksa mengingat kejadian yang menimpa mantan pacarnya. Untuk sekedar datang ke peristirahatan terakhirnya saja rasanya Aksa tidak pantas. Bisa dihitung jari berapa banyak cowok itu datang ke sini. Niatnya selalu sama, untuk meminta maaf. Entah apa ucapan maafnya didengar.

Namun kali ini Aksa datang dengan alasan yang lain. Pikirannya langsung tertuju ke tempat ini ketika ia pergi dari rumah Rendra beberapa saat yang lalu.

"I messed up again," bisik Aksa setelah jemarinya menyentuh nisan yang dingin itu. "Aku berusaha nggak ngulangin kesalahan aku yang dulu, tapi aku tetep kehilangan. Apa gara-gara aku nggak ngizinin kamu dulu, jadi kamu juga ngelakuin hal yang sama ke aku? Aku ngelarang kamu ikut liburan sama temen-temen kamu karena aku khawatir sama kondisi kamu, padahal mungkin itu salah satu cara kamu buat nyenengin diri sendiri. Dan sekarang aku juga nggak bisa jemput kebahagiaanku. Aku pantes dapetin ini, kan?"

Lama Aksa termangu di hadapan pusara itu hingga seluruh tubuhnya basah kuyup. Hingga hujan yang deras mulai habis menjadi tetes air yang turun sekali dua-kali. Aksa memeluk nisan yang membeku itu sebelum mengucap maafnya lagi.

"Aku minta maaf."

Rasanya seperti mimpi buruk ketika Bara mendengar kalimat yang muncul dari bibir Rendra.

"Gue jadian sama Aksa."

Lama Bara hanya menatap lantai, menyesali keingintahuannya tentang perdebatan Rendra dan Aksa di bawah hujan beberapa saat yang lalu. Rendra yang terpaku di tempatnya setelah Aksa pergi hingga Bara harus menariknya masuk ke dalam rumah. Namun ia tak pernah menyangka bahwa jawaban itulah yang didapatnya.

"Lo jadian sama Aksa...?"

Ini adalah ketiga kalinya Bara melontarkan pertanyaan itu. Kali pertama ia terdengar tak percaya, kali kedua ia berusaha memastikan, namun kali terakhir ia seakan berbicara pada dirinya sendiri.

Rendra tak menjawab lagi. Diamnya sudah menjelaskan kalau ia memang tidak bercanda.

"Gue- Gue nggak- Lo nggak bilang sama gue," desis Bara.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang