Jerit dan tangis dari dalam rumah itu kembali terdengar ketika Bara melihat ibunya. Wanita yang segera pergi menemui anaknya setelah mendapat kabar dari mantan suaminya itu lantas bersimpuh di depan Bara dan berusaha memeluknya. Anak lelakinya memberontak hebat, raungan tangisnya menciptakan pilu yang tak habisnya melukai hati sang ibu.
“Abang, ini Ibu… Ibu di sini…”
Wanita yang ikut bercucuran air mata itu tak menyerah untuk membawa anaknya dalam pelukan. Ia tak tahu apa yang membuat anaknya menjadi histeris seperti sekarang ini. Terakhir kali ia membawanya konsultasi ke rumah sakit, dokter mengatakan bahwa keadaan Bara sudah jauh lebih baik dan sebentar lagi diperbolehkan untuk beraktivitas seperti biasa. Kecuali ada sesuatu yang memancing traumanya.
“Ibu kenapa nggak temenin Abang di rumah? Ibu kenapa pergi? Adis ke mana? Abang nggak percaya sama Bapak, semua yang dibilang Bapak itu bohong!”
Kalimat yang diucapkan Bara di sela-sela tangisnya membuat ibunya seketika resah. Ia menoleh cepat pada lelaki yang berdiri tak jauh dari mereka.
“Mas bilang apa sama Bara?” tanya wanita itu.
“Sebentar, kamu jangan-”
“Mas bilang apa??” desaknya tajam.
Lelaki itu mendesah keras. Ia tak punya pilihan lain selain mengaku. “Mau sampai kapan bohong terus sama Bara? Dari dulu kamu selalu begitu. Berusaha nyembunyiin hal biar kamu nggak kelihatan jelek di depan orang lain. Kamu sudah ninggalin keluarga ini, kamu selingkuh! Tapi Bara nggak pernah tahu kenyataannya!”
“Mas!” Wanita itu memekik sembari tangannya berusaha melindungi kedua telinga anaknya, yang sebenarnya sia-sia belaka. “Bisa-bisanya kamu ngomong begitu? Mas nggak mikirin kondisinya Bara?”
“Memang faktanya seperti itu! Lagipula Bara sudah curiga kenapa kamu sering pergi. Dia berhak tahu semuanya.”
Dalam satu tarikan kuat Bara dipaksa berdiri oleh ibunya lalu dibawa pergi menuju kamarnya. Pintunya ditutup agar ayahnya tak bisa masuk. Di sana Bara segera meringkuk di atas ranjangnya, memunggungi ibunya.
“Abang…” panggil sang ibu. “Abang belum makan malem, kan? Makan dulu, ya? Habis itu minum obat terus istirahat.”
Bara menggelengkan kepalanya kuat. Ibunya menghela napas berat sebelum beranjak duduk di tepi ranjangnya.
“Makan disuapin Ibu, ya? Abang mau makan apa? Nanti Ibu beliin.” Tangannya yang berusaha mengusap wajah Bara langsung ditepis. “Abang jangan kayak gini…”
“Biarin. Biarin aja Abang sakit, biarin Abang mati. Semuanya bikin sakit Abang! Kalo omongan Bapak nggak bener, kenapa Ibu nggak berusaha jelasin? Kenapa Ibu nggak bisa jawab pertanyaan Abang waktu itu di telepon?”
“Pertanyaan Abang yang mana?” tanya ibunya, berusaha memahami racauan anaknya.
“Waktu itu. Sebelum Abang kecelakaan.”
Kerutan di kening wanita itu perlahan memudar seiring mulutnya yang terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka Bara akan tiba-tiba membahas topik itu, apalagi dalam kondisi seperti ini.
“Abang… inget?”
Isak tangis Bara kembali pecah. Suaranya begitu parau ketika ia menjawab. “Abang nggak mau inget tapi Abang inget. Semuanya! Dan semuanya sakit!”
Wanita yang duduk di tepi ranjang itu langsung mendekap anaknya sambil membisikkan beribu kata maaf.
“Maafin Ibu… Maaf… Tapi semuanya nggak kayak yang Abang pikirin… Ibu minta maaf…”
Malam semakin larut. Udara semakin dingin. Namun tak ada satupun yang dapat menghangatkan Bara, bahkan pelukan ibunya sekalipun.
ㅡ

KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang
Fanfiction- Pulang. Jika rumah adalah tempat untuk kita berpulang, maka ke manakah Bara harus melangkah? [part of Jejak di Antara Semesta series]