19°

7.3K 177 0
                                    

"Tapi dia gak bisa berhenti dari gua," sambung Baskara, membuat senyumnya luntur seketika.

Serana melipat bibirnya. Merasa ada yang janggal dalam benaknya kala Baskara mengatakan hal itu.

Ada rasa takut jika Baskara benar-benar memilih Raska. Ia takut Baskara terbuai dengan segala kalimat gadis itu.

Dan sedetik kemudian, matanya mengerjap, menetralkan wajahnya. Juga menyadari akan perasaannya yang mulai aneh pada lelaki itu.

Baskara menoleh. Memastikan raut wajah Serana. Dalam hatinya merasa kecewa saat melihat Serana tidak menampilkan raut kesedihan atau cemburu.

"Masih kontakan sama, Dean, ya?" tanya Baskara dengan wajah tanpa eskpresi, menatap lurus seraya mengepulkan asap rokoknya.

Serana terkekeh singkat. Terdengar meledek bagi Baskara. "Menurut lo gimana?" pancingnya, penasaran dengan jawaban lelaki yang duduk di sampingnya.

"Antara iya dan enggak," balasnya, menaikkan bahu singkat. "Kayaknya, sih, enggak. Karena lo udah cinta sama gua."

Baskara terlalu percaya diri.

"Lo emang tau apa tentang cinta? Bisa banget kayaknya nyimpulin begitu," ujar Serana.

Baskara mencubit gemas pipi Serana. "Lo sama gua duluan siapa yang lahir, hm?"

"Emang ngaruh, ya?" Serana menoleh singkat. "Umur gak menjamin paham soal cinta."

Baskara terdiam.

"Menurut gue, di dunia ini gak ada yang bener-bener paham soal cinta," jelas Serana.

"Sekali pun pasangan udah puluhan tahun bersama, mereka kadang masih bertanya-tanya ...."

Baskara meraih tangan Serana. Digenggamnya erat, tanpa niat untuk memotong ucapan gadisnya.

"Sebenernya mereka bersama itu atas dasar cinta atau terpaksa? Karena tanggung jawab mereka udah beda."

Lelaki itu menekan ujung rokok, dan menaruhnya dekat kaki. "Karena anak?" tanya Baskara, menuai anggukan singkat dari Serana.

"Cinta sama terpaksa beda tipis." Opini Serana sama sekali tidak masuk akal bagi Baskara.

Tapi ia tidak memperdebatkan hal itu. Biarlah opini akan menjadi opini. Sekali pun ditentang mati-matian, Serana tetap pada opininya.

Ia tahu mengapa Serana memiliki opini seperti itu. Karena lingkungan keluarganya yang tidak mendukung memaknai cinta sesungguhnya.

Kini tugas Baskara meyakini dan mempercayai bahwa cinta itu ada sungguhan. Sebab ia tidak ingin kata terpaksa itu keluar dari mulut gadisnya.

Langit kini berubah menjadi gelap. Sudah hampir dua jam lamanya mereka duduk di tepi pantai.

"Gua udah mesen hotel," ucap Baskara dengan suara beratnya, dan bersandar pada bahu Serana.

"Dih, bisa banget taktiknya. Jadi ... ini ceritanya lo ngajak gue liburan?" tanya Serana, membuat Baskara ikut terkekeh.

"Tapi lo seneng, kan?"

"Menurut lo?"

"Seneng banget," balas Baskara cepat.

Serana tersenyum merekah. Jawaban Baskara sama dengan jawaban benaknya.

•••••

"Gue gak bawa baju lagi, aaaa!!" umpatnya, mengusap wajah dengan cukup kasar.

Melihat Baskara yang sudah tertidur pulas di atas kasur dengan damai, ia langsung naik ke sana, dan menyelimuti tubuhnya.

"Basss ...," panggilnya.

BASKARA [END:REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang