24°

6.9K 183 2
                                    

"Lo itu penulis, Bas. Yang harus mimpin cerita lo mau dibawa ke mana dan gimana. Kalau begini ceritanya, lo bakal gimana? Gak tau, kan, lo? Bingung?" tanya Pura bertubi-tubi, setelah mengepulkan asap rokoknya.

Pelataran rumah bagian belakang Pura menjadi saksi badai, ombak, musim gugur dan musim semi dari perjalanan Baskara Wibisono.

Kedua mata dari lelaki berpakaian casual itu mulai memanas. Ia tidak sanggup mengingat betapa fatalnya ucapannya tadi dengan Serana.

"Emangnya lo gak kepikiran sama ucapan Bundanya?"

Baskara masih terdiam sepanjang obrolannya dengan Pura. Tidak lama kemudian, Petro datang dengan seragam office boy-nya.

"Kenapa lagi, nih, bocah?" Ia terduduk di samping Baskara, menepuk pelan pundak lelaki itu.

Satu alisnya naik, meminta jawaban pada Pura yang duduk di hadapannya. "Biasa lah," balas Pura singkat dengan wajah tanpa ekspresi.

"Gua kadang bingung sama lo, Bas. Sikap lo kayak ngeyakinin kita banget kalau lo bakal bisa ngejalanin hubungan sama Serana," jelas Petro, lalu menarik sebungkus rokok milik Pura. "Minta."

Pura mengangguk samar.

"Gini, deh. Mending gua sama Petro yang bilang ke Raska soal pernikahan lo sama Serana."

"Gua--"

"Jangan batu lo jadi orang. Gua sama Petro juga punya cara buat jelasin itu semua. Gak langsung di satu waktu," sela Pura cepat.

Baskara menghela napas berat. "Gua ... belum bisa."

Petro dan Pura saling melempar tatap dengan dahi mengernyit kebingungan.

"Anying. Masih sama ternyata. Labil lo tingkat berapa, sih, Bas?" balas Petro, yang mulai emosi.

"Intinya, gua gak minta persetujuan lo. Gua sama Petro bakal jalanin misi ini berdua. Lo tinggal nikmatin hasilnya aja."

Baskara berdecak. Mengusap wajahnya kasar, berakhir menyugar rambut ke belakang.

"Masih bisa jawab lagi lo?" ledek Pura, di akhiri kekehan singkat. "Gak usah nekat nyembunyiin semuanya, deh. Mau sampai kapan, Bas? Sampai lo punya anak?"

Sial.

Baskara mendadak lemah jika membicarakan soal anak. Ia tidak mau membuat Serana terbebani perihal datangnya buah hati. Sebab ia tahu, rasa siap itu sangat sulit ditumbuhkan.

Apalagi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.

Petro beralih menatap pada ponsel Baskara yang baru saja berdering. "Bini lo, tuh," ucap Petro, membuat Baskara menoleh singkat.

"Angkat bego," perintah Pura, mematikan rokok pada pinggiran asbak. "Gua rasa ada hal penting."

Akhirnya Baskara mengambil ponsel dari atas meja dekat cangkir kopi. Ia menekan tombol hijau, dan beranjak dari bangku. Melangkahkan kaki menjauh dari jangkauan Petro dan Pura.

"Hm."

"Halo, Nak? Ini Bunda."

Refleks raut wajahnya berubah heran dan cukup ketakutan. "Bunda?" beonya, yang mendapat kekehan samar dari wanita di seberang sana.

"Kamu bisa pulang sekarang? Atau lagi ada keperluan yang penting?"

•••••

Senyum hangat Bunda sama sekali tidak luntur dari penglihatan Serana dan Baskara yang kini duduk berhadapan di bangku dekat kolam renang.

BASKARA [END:REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang