23°

6.5K 202 0
                                    

Ditolak sampai nangis darah pun tidak akan direspon oleh Dean. Sebab lelaki itu ingin menikmati perjalanan terakhirnya dengan Serana.

Tidak ada lagu mengalun dari radio mobil. Hanya ada suara knalpot kendaraan lain yang mengisi keheningan.

Sesekali Serana dengan mata sembabnya melirik pada Dean yang  fokus menyetir. Ribuan maaf sudah diucapkan, namun Dean tetap pada sifatnya yang sangat pemaaf.

"Mau bilang maaf lagi?" ledeknya, di akhiri kekehan yang terdengar miris bagi Serana.

"Aku sama kamu itu manusia biasa. Kalau mau minta maaf ... kayaknya langsung ke Tuhan aja," sambung Dean.

Dean masih sama. Jawabannya masih sama. Pemikirannya masih sama. Aroma parfumnya masih sama. Dan senyum, hangat, rasa nyamannya masih sama.

"Aku yakin, Dean. Aku yakin kalau kamu bakal dapetin yang lebih baik dari aku."

Dean menoleh singkat. "Tapi kali ini aku gak yakin," balasnya cepat.

Serana melipat kedua bibirnya. Menahan tangis dengan suasana yang mendung, mendukung gemuruh dalam hatinya.

"Aku sama kamu itu manusia biasa. Rasa yakin itu gak bisa kita buat. Karena yakin yang abadi itu yakin sama Tuhan."

Serana sekilas membalikkan kalimat yang Dean ucapkan. Bagi Dean, ucapan Serana sama sekali tidak bisa masuk akal. Namun ia berusaha tahu ke mana arah pembicaraannya.

Lelaki itu terkekeh, melirik pada Serana yang kini menyandarkan kepalanya di kaca mobil.

"Kamu bener mau lanjut pulang sekarang?"

Entah sudah berapa puluh kali Serana menanyakan itu pada Dean. Intinya, ini semua seperti mimpi.

"Waktu yang aku punya udah gak banyak kayak dulu lagi, Ser."

Serana tersenyum simpul. Ada rasa bangga terselip dalam benaknya, melihat Dean sudah berhasil dengan cita-citanya.

"Kadang ... perpisahan gak selamanya perpisahan," ucap Serana pelan, mengalihkan topik pembicaraan.

"Ada juga perpisahan yang menyatukan."

Dean mengernyit singkat mendengar ucapan gadis yang duduk di sampingnya.

"Kamu ngomong apa, sih, Ser? Kok, jadi sok puitis sama ngelantur gini, sih?" tanya Dean keheranan.

"Aku sama kamu emang punya harapan. Tapi kita gak bisa banyak berharap, Serana. Kita bukan Tuhan."

Dean tampak lebih tampan jika sudah berucap seperti itu. Serana terdiam, mendengar suara berat Dean yang menjadi tentram hatinya.

"Kita udah buat jalan. Tapi Tuhan punya keputusan." Ia menghela napas dalam, menoleh singkat pada Serana.

"Gak ada yang larang kamu buat nangis, kok."

Detik itu, air mata yang membendung dari kelopak matanya, benar-benar keluar. Mati-matian Serana menahan semuanya, namun sia-sia usahanya.

Dean menelan salivanya sulit. Ia juga ingin menangis jika tidak ada predikat lelaki menangis itu adalah perempuan.

"Kamu masih bisa buat cerita yang udah kita bangun, dan lanjutin semuanya sama dia. Tapi, inget, ya ... jangan pernah bawa siluet aku ke dalam cerita kamu sama dia."

Dean berpesan dan memaksa Serana untuk tidak terus-terusan berharap dan membawa nama dalam hubungannya dengan Baskara.

"A-aku ... hikss ... aku takut ... hiksss ...."

Dengan berat hati, Dean mengulurkan tangan, menggenggam jemari Serana. Menyalurkan sisa rasa untuk terakhir kalinya.

Perjalanan ditempuh lima belas menit lagi. Tidak ada kalimat yang diucapkan Dean atau Serana.

BASKARA [END:REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang