12°

8.6K 238 0
                                    

Sudah seminggu ia terlihat lebih diam di mata Baskara. Bahkan jika pagi, Serana langsung memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tanpa membangunkannya.

Di mata Serana, wajah Baskara seperti tidak bersalah. Lelaki itu terus mengajaknya mengobrol dengan Serana yang tidak merespon.

"Ser," panggilnya, mencekal lengan gadis itu, membawa masuk ke dalam kamarnya.

Serana tampak pasrah ditarik begitu saja ke dalam kamar. Ia terduduk di tepi ranjang dengan Baskara yang sudah menekuk lutut di hadapannya.

"Lo kenapa, sih, akhir-akhir ini, hm?"

Bisa-bisanya Baskara masih bertanya alasannya. Dan itu berhasil menyulut emosi Serana yang refleks menampar pipi lelaki di hadapannya.

"Lo manusia, kan? Punya hati?" balas Serana, membuat kedua alis Baskara hampir menyatu.

"Gue udah bilang, kita lebih baik pisah, Bas. Pisah ...."

Jari telunjuk Serana kini tepat di hadapan wajah Baskara. "Lo itu cowok brengsek yang cuman mau enaknya doang!"

"Serana."

"Apa! Bener, kan?! Udah habis berapa kondom sama, Raska? Hmm??" tanyanya dengan meninggikan nadanya.

Baskara terdiam.

"Omongan maaf lo basi!" Ia beranjak sebelum Baskara meminta maaf dan menjelaskan yang sesungguhnya.

Lelaki itu lebih dulu mencekal tangan Serana. Beranjak dan menghadapkan tubuh pada perempuan yang wajahnya sudah merah, menahan sulut emosi.

"Ok, fine. Gua salah. Tapi tolong ...  dengerin gua dulu."

Serana mendongak. Menatap tajam dengan dua alis yang hampir menyatu. "Buat apa? Buat nambah gue sakit lagi?"

Baskara melepas tangan Serana. Lelaki itu dengan frustasi mengusap wajah. "Kalau lo kayak gini terus, gimana  masalahnya mau selesai!"

Deg

Baskara mulai meninggikan nada bicaranya. Perempuan yang ada di hadapannya tampak melemah dan takut mengingat kejadian dulu Ayah yang sering membentak Bunda.

Ia menundukkan kepalanya. Memejamkan mata dan mulai menangis dengan sekuat mungkin untuk tidak terisak.

"Serana." Suara helaan napas berat dari Baskara membuat Serana menangis lebih deras dalam tunduknya.

"Apa lo ... udah cinta sama gua?" tanya Baskara pelan dengan suara beratnya.

Serana masih dengan jawaban yang sama. Ia menggelengkan kepalanya samar, menuai kekehan miris dari Baskara.

"Lo bohong," ucapnya, dengan sisa kekehan samar itu.

Serana menepis air matanya. Mendongakkan wajah guna menatap Baskara. "Gue bakal tungguin," ucapnya. "Seberapa jauh kita bersama tanpa cinta."

•••••

Puluhan kali telepon dari Bunda tidak dijawab. Baskara kini sudah berangkat menuju kantor.

Serana benci dengan sifat Baskara yang semaunya. Sok penguasa, sombong, menyebalkan, jahil, labil, dan tidak bisa diikat janjinya.

Netranya memandang lekat pada layar ponsel yang menampilkan foto pernikahan sederhananya dengan Baskara.

"Ternyata nikah gak semenyenangkan itu," gumamnya, menggeleng-gelengkan kepala samar mengingat Baskara yang meninggikan nadanya.

BASKARA [END:REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang