15°

9.4K 221 4
                                    

"Ehhh! Baskaraa," sapa Bunda, merangkul Baskara masuk ke dalam, membuat Serana mengernyit. Memperlakukan Baskara sangat baik. Lebih baik darinya.

"Kak, gimana kabarnya?" Suara berat itu membuatnya menoleh cepat. Ternyata Ayah menghampirinya.

Ia kembali membalikkan tubuh, berjalan pelan masuk ke dalam rumah. "Baik," balasnya singkat dengan wajah tanpa ekspresi.

Pria itu hanya memberi seulas senyum dari balik punggung anak semata wayangnya.

Serana terduduk di sofa ruang keluarga. Tepat sekali di samping Baskara. Lelaki itu tampak santai dan seru mengobrol dengan Bunda.

"Gimana, Kak? Aman, kan?" tanya Bunda yang tidak lepas ingin tahu soal kabarnya di sana.

Serana menyandarkan kepalanya pada sofa. Ia menggumam singkat dengan mata yang terpejam. Sedangkan Baskara membalas dengan senyum hangatnya, untuk mengurangi suasana yang canggung.

"Kuliahnya gimana, Bas? Serana, gak telat bangunin kamu setiap harinya, kan?"

Serana membuka matanya, mendelik singkat pada Baskara yang masih terduduk tegap. Ia kembali memejamkan matanya. Merutuki dirinya yang bodoh, sampai tidak pernah bertanya soal kuliah pada Baskara.

"Enggak, kok, Bun. Serana di rumah rajin," balas Baskara membuat Serana tersenyum tipis yang amat singkat.

"Syukur, deh, kalau dia rajin. Ya ... sebenernya di rumah juga rajin, sih. Tapi, ya, gitu. Kadang males," cibir Bunda, di akhiri kekehan, membuat Baskara tersenyum simpul.

"Yaudah, yaudah. Kalian istirahat di kamar dulu, ya. Bunda mau beli sarapan dulu," ucap Bunda, beranjak dari sofa.

Setelah Bunda benar-benar meninggalkan ruang keluarga, Baskara memposisikan dirinya menyamping. Menatap Serana dengan raut wajah tak terbaca.

Perlahan tangannya mengurai lembut anak rambut yang menutupi wajah Serana. "Perut gue sakit," rintihnya pelan, meremas kuat perutnya yang mendadak perih.

"Maag-nya kambuh?"

Serana membuka sedikit matanya, mengangguk samar. "Sakit banget, Basssh ...."

Tanpa berpikir panjang, Baskara langsung menggendong Serana menuju kamar dekat ruang televisi.

Sesampainya di ranjang, ia menaruh gadisnya dengan perlahan, sedikit menyingkap kemeja putih yang melekat pada tubuh Serana.

Serana terus merintih, menggeliat kesakitan merasa betapa perih perutnya. Ia tahu, pasti lambungnya sedang kumat.

Usapan Baskara kali ini sama sekali tidak pengaruh baginya. Ia menumpu di atas tangan Baskara. Mengikuti usapan lembut itu.

Tangan mungilnya benar-benar menuntun pada bagian yang sangat nyeri.

"Ssssh ...."

"Sakit banget, ya? Sampai keringetan gini," ucapnya, mengusap lembut dahi Serana yang mengeluarkan bulir keringat.

"Basshh ...."

"Hm?"

"Sss ... sakithh bangetth," rintihnya lagi, menggigit bibir bawahnya, membuat Baskara ngilu. Sebab Serana terlihat begitu bertenaga menggigit bibirnya sendiri.

"Jangan digigit, Sayang. Nanti berdarah."

Serana menghela napas berat, mengendurkan gigitan pada bibirnya sendiri. Tangannya berubah menjadi meremas tangan besar milik Baskara.

Matanya terpejam dengan dahi yang kedua alis yang hampir menyatu. Ingin sekali rasanya berguling di atas bebatuan.

"Berobat aja, ya?" tawar Baskara yang semakin khawatir melihat Serana kesakitan.

BASKARA [END:REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang