36°

6.4K 158 1
                                    

"Masih mual, ya?" tanya Serana, menyugar berkali-kali rambut Baskara yang tengah memejamkan mata, berbaring menghadap padanya.

Saat hendak membalas, suara ketukan pintu membuatnya urung. Serana menghentikan pergerakannya, beranjak dari kasur. "Aku ke Bunda dulu, ya? Awas aja kalau tidur. Bentar doang, kok."

"Kakk," panggil Bunda dari luar, seraya mengetuk pintu kamar.

Akhirnya Serana membuka pintu kamar. Mendapati Bunda yang sudah rapi dengan hijab dan gamisnya.

"Bunda sama Ayah mau ke bank dulu, ya. Kamu sama Baskara kalau mau sarapan, tinggal ambil di bawah. Okeyy?"

"Ke bank? Ngapain?" tanya Serana dengan wajah bangun tidurnya, menuai kekehan dari Bunda.

"Ada, deh. Udah, ya. Bunda, ditungguin Ayah ini. Kalian harus sarapan pokoknya." Ingat Bunda, lalu melangkahkan kaki meninggalkan lantai dua rumahnya.

Ia memutuskan untuk kembali berbaring di atas kasur. Memastikan perut Baskara baik-baik saja.

"Bas?" panggil Serana, setelah kembali berbaring dan menutup tubuhnya dan tubuh Baskara dengan selimut sebatas dada.

Perlahan Baskara membuka matanya perlahan. Mendapatkan senyum hangat dari Serana di pagi hari adalah rejeki nomplok.

Tangannya terulur mengusap lembut pipi Serana. Tidak menyangka bahwa sifatnya berubah menjadi lebih sabar menghadapi spesies cewek badas ini.

"Kapan mau ngasih tau Ayah sama Bunda?" tanya Baskara dengan suara beratnya, khas bangun tidur.

Kedua mata Serana melirik-lirik ke kanan-kiri, mencari jawaban.

"Nanti sore?"

"Nanti malem?"

"Besok pagi?"

"Atau lusa?"

Baskara tertawa kecil mendengar pertanyaan Serana bertubi-tubi. Ia langsung membawa Serana ke dalam dekapan. Menumpu dagu pada pucuk kepala perempuan itu.

"Lucu banget, sih, byy .... gemes."

Serana justru mengendus-endus leher Baskara dan membenarkan posisi tubuhnya yang berada dalam dekapan Baskara.

"Bas?"

"Hm?"

Serana terdiam sejenak. Menikmati aroma parfum dari tubuh Baskara yang telanjang dada.

"Kamu udah gak ngerokok lagi?"

"Mmm ... gimana, ya, jawabnya," balas Baskara usil, sambil memainkan rambut Serana.

"Ish, Baskaraa ...."

Cup!

Kecupan singkat pada pucuk kepala Serana itu sepertinya menjadi jawaban yang samar. Bahwa Baskara masih belum bisa berhenti dari merokok.

"Katanya mau jadi Papa yang baik," cibir Serana pelan, membuat Baskara gemas mendengarnya.

"Jangan gemes-gemes bisa gak, by? Jadi pengin gigit pipi kamu ...."

Serana memukul pelan dada Baskara. "Buaya," balasnya parau.

Baskara terkekeh mendengar itu. Ia mengeratkan dekapannya. Terasa sekali deru napas Serana menerpa kulit tubuhnya yang telanjang dada. Membuatnya mengumpat berkali-kali.

"Susah buat berhenti," ucap Baskara sedikit serius, masih menumpu dagu pada pucuk kepala Serana.

"Itu, tuh, karna kamu gak niat berhenti. Jadi susah, Baskara Wibisono."

Ucapan Serana hanya dibalas dengan dehaman singkat oleh Baskara.

"Tau, ah. Malesin banget, sih, Bas. Orang nanya, tuh, dibales. Bukannya makin--"

Cup!

Serana menghela napas panjang kala mendapat kecupan singkat pada pucuk kepala.

"Iya, Mama yang cantik. Nanti aku usahain buat berhenti," ujar Baskara dengan suara beratnya.

•••••

"Anjing. Lo yang duluan!"

"Ya, lo lah!" balas Pura tak mau disalahkan.

"Bacot. Lo yang duluan ege! Lo yang bawa dia ke sini!"

"Ck! Babi lo!"

Petro mendengus kesal. Akhirnya ia meninggalkan area dapur, melangkah mendekat pada Raska yang tengah menangis dekat kolam renang rumah Pura.

"Ras?"

Raska tetap tidak peduli dengan Petro dan Pura. Ia seperti gelandangan yang masuk ke dalam rumah mewah ini. Tangisnya pun sama sekali tidak mereda.

Rambut panjangnya berubah seperti distrum listrik. Lipstik dan eyeliner luntur begitu saja.

"Raska, sorry to say, ya. Gua bukannya gak berpihak ke lo. Tapi--"

"Lo berdua aja kayak Baskara," sela Raska cepat.

Damn.

Petro refleks menoleh ke belakang, tepat Pura berdiri menatapnya. Gua harus gimana anjir! Batinnya berteriak, meminta jawaban dengan raut wajah bingung.

Akhirnya Petro memutuskan untuk duduk di samping Raska. Menatap lurus pada air kolam renang yang hening.

"Gua, lo, Pura ... sama Baskara, gak tau gimana Tuhan ngatur semuanya terjadi," ucap Petro dengan hati-hati, di akhiri membenarkan rambut gondrongnya.

"Gua sama Pura emang gak pernah ada di posisi lo."

"Tapi gua sama Pura pernah ada di titik terendah dalam hidup. Hampir sama kayak yang lo rasain sekarang."

Tangis Raska mulai mereda mendengar ucapan Petro yang sedikit membuatnya tenang.

"Dan lo tau apa yang gua lakuin sama Pura buat bangkit?" imbuh Petro, menoleh singkat pada Raska.

"Gua cari kegiatan yang gua suka. Gua ngamuk di tempat yang gak ada orangnya."

"Di kuburan maksud lo?" balas Raska dengan sisa sesenggukannya, menuai kekehan dari Petro.

"Enggak lah, anjir."

Hening.

"Proses, Ras." Petro merogoh saku celana, mengeluarkan sebungkus rokok, dan mengambilnya sebatang.

"Nyebat gak lo?" tawar Petro, dijawab gelengan kepala oleh Raska.

"Kalau lo gak bisa lupain Baskara, gua rela, kok, jadi pelampiasan lo buat lupain dia."

Raska menoleh. Menatap Petro dari samping. "Maksudnya?"

Petro menaikkan satu alisnya seraya mendekatkan pemantik pada ujung rokok. Ia mengepulkan asap, dan menoleh ke arah Raska yang tengah menatapnya serius.

"Dasar cewek lemot. Gitu aja gak paham."

•••••

Rabu, 26 April 2023

BASKARA [END:REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang