38°

6.1K 164 0
                                    

Seperti biasa, pagi hari Bunda harus bersih-bersih dan mulai mencuci, disambi juga memasak sarapan.

Sesekali ia menoleh pada meja makan yang masih kosong--tidak ada orang di sana.

Ia menjeda sejenak kegiatannya. Melangkah menghampiri suaminya yang masih menggulung tubuh dengan selimut. "Mass? Bangun, yuk ... udah pagi."

"Hmm ...."

Ia menutup pintu kamar, melangkahkan kedua kakinya menuju lantai atas yang terdapat kamar Serana.

Sesampainya di depan pintu, tangannya urung mengetuk saat Serana lebih dulu membuka pintu.

"Pagi, cantiknya Bunda. Udah mandi belum, nih?" ledek Bunda, merapikan sedikit anak rambut Serana yang menutupi wajah.

Serana mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi masih ngantuk," ucapnya dengan pelan.

"Sarapan dulu, ya?"

"Eunggh ... he-em iya," balas Serana seraya mengulet. "Bentar, ya, Bun. Aku mau pakai parfum dulu."

Tangan Bunda mulai menjauh dari jangkauan anaknya. Ia menatap heran punggung yang mulai menjauh, masuk ke dalam kamar.

Sejak kapan Serana memakai parfum saat hendak sarapan? Ditambah lagi hari ini--mungkin--Baskara tidak mengajaknya keluar bermain.

Saat Serana kembali melangkah padanya, benaknya terasa begitu janggal. Namun secepat kilat ia menepis itu.

"Kakak, udah bangunin, Baskara?" tanya Bunda sambil melangkah bersama menuruni anak tangga.

"Udah. Tapi dia masih ngantuk."

Setelah selesai menuruni anak tangga, Serana memilih duduk sejenak di sofa. Mendadak perutnya terasa kram dan ia menoleh ke belakang, memastikan Bunda tidak melihat pergerakan tangannya mengusap-usap perut.

"Kak?" panggil Ayah yang baru saja keluar dari kamar.

Se per kian detik ia menatap Ayah, dan kembali menonton televisi dengan tangan yang sudah menjauh dari perut.

Ternyata Ayah menghampirinya. Duduk di sofa, tepat di sampingnya. Jantung Serana mendadak berpacu cepat. Takut jika Ayah menanyakan perihal kandungannya.

"Baskara, ke mana? Belum bangun?"

Serana menghela napas lega dengan perlahan. Ia membenarkan posisi duduknya, dan menggeleng singkat untuk jawaban.

Ia beranjak dari sofa. Melangkah ke kamar mandi tanpa mengucapkan sepatah kata pada Ayah.

Di dalam kamar mandi, Serana terus menatap pantulan dirinya dari cermin. Ia mengusap lembut bibirnya, dan beralih pada perut.

"Kamu yang ngajarin Mama nakal, ya?" Monolognya.

Mendengar kata 'Mama' yang diucapkan mulutnya sendiri membuatnya senyum-senyum.

Ceklek!

Ia menoleh cepat. Memekik begitu saja melihat Baskara dengan mata sayupnya. "Baskara, iiiiih!"

Sontak Baskara membuka matanya. Ia tersenyum miring kala mendapati Serana yang tengah bercermin. Kakinya melangkah mendekat. Berdiri tepat di belakang, dan melingkarkan kedua tangan pada pinggang Serana.

"Bas, ihh ... kan, ada kamar mandi di atasss ...."

Baskara justru menyembunyikan wajah pada ceruk leher perempuan itu. "Basshh ...," ucap Serana lirih menahan rasa geli.

"Hm?"

Sial. Dehaman Baskara dengan suara berat itu membuat bulu kuduknya merinding.

"Udah, ah, awas. Aku mau bantuin Bunda."

BASKARA [END:REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang