35°

7K 176 1
                                    

Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak biasanya Serana melihat di kasur sudah tidak ada Baskara.

Biasanya lelaki itu harus dimarahi dulu agar bangun. Tapi kali ini ada yang berbeda. Parfum Baskara meninggalkan jejak, seolah pemilik parfum itu sudah pergi bekerja.

Tubuhnya beranjak perlahan dari kasur. Saat tangannya hendak meraih gelas di atas nakas, dering ponselnya lebih dulu berbunyi. Menampilkan nama Bunda di sana.

Sejenak ia terdiam. Menatap lekat layar ponselnya. Dan detik berikutnya, ia memutuskan untuk menerima panggilan dari Bunda.

"Halo, Bun. Ada apa?" sapanya dengan nada pelan, khas bangun tidur.

"Halo, Kak. Gimana kabarnya? Bunda, tiba-tiba kepikiran. Kalian di sana sehat, kan?"

Serana terdiam sejenak. Hatinya mendadak berubah menjadi sedih saat merasa Bunda seperti tertaut dalam batinnya.

Tidak ada yang bisa mengalahkan antara batin anak dan ibu.

Nyatanya, Serana benar-benar tidak baik pikirannya setelah menemui Raska kemarin. Dan Baskara terlihat ragu mengambil keputusannya. Manik lelaki itu seperti masih berharap bahwa ini semuanya adalah mimpi.

"Kakk?"

"Aman, kok, Bun. Kayaknya besok aku bakal main ke sana," ucap Serana, membuat Bunda tersenyum merekah dari seberang sana.

"Tumben banget, nihh. Kira-kira ke sininya jam berapa? Soalnya Bunda ada kegiatan di Desa."

"Eumm ... mungkin malem, abis Baskara pulang dari kantor."

"Ohh, yaudah iya gapapa. Bunda mau lanjut masak dulu, ya. Kalian hati-hati di sana."

Serana tersenyum simpul sebelum membalas, "Iya, Bun. Bunda juga hati-hati di sana."

Dan sambungan telepon akhirnya berakhir. Serana terdiam sejenak, menatap lurus lemari pakaiannya dengan lemari milik Baskara.

Sedangkan di lain tempat, Baskara tampak serius melajukan mobilnya menuju kantor.

Ponsel terus berdering menampilkan nama Raska di sana. Di tempat yang berbeda, ia terus mengkhawatirkan janji Baskara semalam. Ia takut Baskara ingkar.

Dan kenyataannya, Baskara memang mengingkari semua. Ia masih bisa berpikir jernih untuk kelanjutan hubungannya dengan Serana.

Sesekali matanya melirik pada layar ponsel. Tangannya terus memegang setir, namun pikirannya melayang pada Serana yang mungkin bertanya-tanya, mengapa ia berangkat ke kantor pagi sekali?

Sesampainya di area parkir kantor, Baskara dengan gerakan tergesa-gesa, keluar dari mobil sambil membawa tas laptop dan jas berwarna abu tua.

"Pagi, Pak."

Sapa seorang lelaki, membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh, mendapati security yang selalu menyapanya setiap pagi.

"Pagi. Ada berita apa hari ini?"

"Tadi ada pacar Pak Baskara ke sini. Dia maksa saya buat ngasih kunci ruangan Bapak ke dia. Tapi--"

"Sekarang dia di mana?" sela Baskara cepat yang tidak biasanya menyela ucapan warga kantor. Sebab ia merasa sangat frustasi akibat ulahnya sendiri.

"Di dekat lift, Pak. Mau saya antar?"

Baskara tersenyum simpul seraya menggelengkan kepala. "Terima kasih." Selanjutnya, ia meninggalkan area parkir dan melangkah cepat menuju lift.

Sesampainya ia di sana dengan deru napas tak karuan, matanya langsung menangkap seorang gadis yang tengah berdiri membelakanginya dengan pakaian yang pertama kali dipakai saat keduanya bertemu.

BASKARA [END:REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang