05. Bus

162 24 6
                                    

.

Bab 05

.

“Lo calon tunangan gue.”

Alvendra dengan spontan mengatakan kalimat itu. Tak ada niatan untuk mengancam dengan embel-embel itu, tapi saat melihat gadis itu diperlakukan seperti itu oleh cowok lain, rasanya ia ingin menghajarnya hingga melebihi apa yang ia telah ia berikan. Minimal masuk rumah sakit. Maksimal menemui yang di atas.

Bukan karena apa, ia sudah diberi kepercayaan untuk menjaga gadis yang ada di hadapannya, menatap dirinya bertanya-tanya.

“Calon tunangan?” beo gadis itu menaikkan satu alisnya. Gadis itu melangkah lebih dekat. “Apa Ayah bilang itu?”

“Kalo iya, kenapa?” Cowok itu malah balik bertanya. “Lo belum dikasih tau? Bukannya di surat yang dikasih ke gue, lo udah tahu soal itu?”

Nazeera tampak berpikir. “Emang iya? Lupa, mungkin,” balas gadis itu dengan jari telunjuk ada di dagu, seolah sedang mengingat.

“Gitu aja, lupa!” seloroh Alvendra yang sudah tidak sabaran. Cowok itu kembali mematri langkah yang sempat terhenti.

Nazeera yang setia mengekori cowok itu mencebikkan bibirnya. Kembali mengejar langkah lebar Alvendra. “Makasi, ya, buat yang tadi,” ucapnya walau canggung.

Untuk menjawab yang satu itu, Alvendra rasa tidak perlu, cowok itu tetap berjalan hingga kepalanya tertoleh sekilas ke sampingnya tepat pada gadis yang ia bantu. Nazeera sudah berjalan di sampingnya, dengan pandangan lurus kedepan.

Suasana sore di jalan sepi itu telah sirna oleh klakson-klakson mobil dan motor di jalan yang sudah ramai. Mereka telah kembali ke suasana yang sibuk, banyak orang-orang yang berjalan cepat, tergesa untuk naik bus yang berhenti di halte karena sudah waktunya.

“Pulang sama gue.”

Bukan pertanyaan tapi pernyataan yang terdengar tidak ingin dibantah.

Nazeera menengok. Mereka sampai di salah satu halte, tapi bus yang berhenti di sana tidak mengarah ke tujuan mereka. Kedua remaja itu duduk berdampingan di kursi halte.

“Kok bisa sampe ke sana? Jalan kaki atau ada urusan lain?” tanya Nazeera saat suasana yang mulai kondusif. Di halte itu hanya ada dirinya dan cowok itu, orang yang tadinya duduk manis telah menaiki bus.

“Lagi tawuran,” balas cowok itu enteng.

“Terus bisa tahu gue di sana gimana?” Nazeera kembali bertanya. Tapi tunggu, Nazeera membulatkan matanya tidak percaya langsung menatap cowok itu. “Lo lagi tawuran?!”

Pertanyaan itu langsung diangguki Alvendra.

“Seriusan? Jangan ikut lagi,” kata gadis itu. Entah kenapa ia langsung mengatakan hal itu.

Lantas Alvendra menoleh. “Kenapa gak boleh? Orang mereka yang mulai, gue cuma ladenin, siapa sih yang gak marah temennya dikroyok?” ujar Alvendra dengan alis menekuk.

“Kalo soal lacak, gue nyuruh temen gue. Nyokap tadi telpon ditengah-tengah pertarungan kita. Suruh jemput lo.” Alvendra menandaskan kalimatnya.

Nazeera mengangguk singkat, matanya sekarang tertuju pada tongkat baseball, jadi itu juga alasan kenapa Alvendra membawa tongkat itu. Tapi kenapa juga ia merasa sudah mengenal cowok itu, tidak ada perasaan canggung pada dirinya. Cowok itu juga tidak begitu menyeramkan, pikirnya.

Tak lama bus yang mereka tunggu datang juga.

“Ayo,” ajak cowok itu membuat Nazeera bergegas membetulkan letak tas digendongnya. Sedangkan cowok itu sudah masuk lebih dulu.

ALVENDRA [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang