22. Udara dingin dan penghangatnya

59 14 9
                                    

“Makasi ya sayang udah bawa Zora ke sini.”

Rania, ibu Zora. Wanita itu sudah datang dari lima belas menit yang lalu dan saat ini memberi pelukan hangat pada Nazeera. Rania tidak marah ataupun benci pada Nazeera atas kejadian ini. Karena ia tahu semuanya terjadi tanpa ada yang menginginkan.

“Maaf, Tante.” Nazeera yang masih merasa bersalah terus saja mengucapkan kalimat itu.

Wanita itu melonggarkan pelukannya dan menggeleng. “Nggak apa-apa. Dokter bilang kalo Zora baik-baik saja. Sekarang kamu pulang aja dulu. Nanti kalo Zora udah sadar Tante kasih tahu kamu, ya,” ucap Rania menenangkan dan meyakinkan jika putrinya baik-baik saja dan Nazeera tidak perlu terlalu mengkhawatirkan kondisinya.

“Iya,” balas Nazeera sambil mengangguk. “Tolong kasih tahu Nazeera, ya, Tan.”

Rania mengangguki perkataannya.

“Maaf, tante.” Alvendra yang sedari tadi di sana hanya diam, kini menghampiri ibu Zora. Ia mengeluarkan handphone miliknya dan menunjukkan sesuatu. “Tante, jika ada mereka berdua Tante nggak perlu khawatir, mereka suruhan ayah saya yang nantinya bakal menjaga di sini.”

Alvendra melirik Nazeera sebelum melanjutkan perkataannya. “Nanti mungkin ayah saya bakal ke sini,” pungkas Alvendra seraya menunjukkan foto ayahnya.

Rania mengangguk paham. Lalu setelahnya Alvendra dan Nazeera pamit. Mereka berdua berjalan berdampingan di lorong itu.

Suara decitan roda, suara lift, semua aktivitas di sana membuat kedua remaja itu tahu betapa sibuknya mereka, walaupun malam sudah datang. Tidak ada obrolan di antara keduanya, hanya saja mata mereka sering bertemu. Kecanggungan melanda keduanya, tidak seperti beberapa saat yang lalu yang berinteraksi seperti biasanya, bahkan sudah melebihi biasanya. Mungkin karena itulah mereka sekarang merasa canggung.

Kaki mereka kini berpijak di depan pintu keluar rumah sakit. Namun belum ada yang membuka suara. Mereka memandang ke arah lain, mencari kesibukan masing-masing. Dan entah sampai kapan seperti itu. Keduanya sedang mengumpulkan keberanian untuk memulainya seperti biasa.

Alvendra melirik sekilas, dan berdeham sebagai caranya menghilangkan rasa canggungnya. “Nazeera,” panggilnya seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. “Karena udah malem, kita pulangnya ... Itu.” Alvendra menunjuk ke mobil putih yang terparkir tak jauh dari mereka berdiri. Ia mendadak bingung untuk mengatakan kalau mereka akan pulang bersama menaiki mobil yang telah disiapkan oleh ayahnya.

Nazeera hanya mengangguk dan mengikuti langkah Alvendra. Sebelum masuk ke mobil, gadis itu membuka resleting jaket yang ia kenakan. “Ini punya lo,” ucap Nazeera sambil menyodorkan jaket itu pada Alvendra yang sedang membukakan pintu untuknya.

Cowok itu hanya memandangnya saja. “Pake aja. Ini udah malem,” jawabnya.

“Nggak pa-pa? Tapi nanti lo kedinginan.”

Alvendra menghela napas, lalu ia membawa jaketnya dari tangan Nazeera. Ia mengibaskan jaketnya lalu tanpa bilang dan aba-aba, ia memasukkan tangan Nazeera, membuat gadis itu kembali memakai jaketnya. “Udah gue bilang, pake aja. Baju lo basah, udaranya juga dingin. Kalo lo sakit siapa yang disalahin? Kakak lo pasti ngelabrak gue di sekolah.”

Setelah mengatakan itu, ia menaikkan resleting jaketnya. Menyuruh gadis itu masuk ke mobil, lalu dirinya. Alvendra duduk di belakang bersama Nazeera karena ayahnya telah menyiapkan supirnya juga.

ALVENDRA [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang