06. Kotak bekal

157 27 2
                                    

.

Bab 06

.

Suara pintu beradu pada tembok nyaris membuat suasana hening dibuat heboh karenanya, untung saja pintu itu tidak terlalu kuat menabrak tembok. Cowok itu berjalan langkah demi langkah masuk ke kamarnya. Tas yang dipundak terlepas, jatuh di dinginya lantai marmer putih.

Cowok itu berbalik membelakangi kasur, satu detik kemudian ia menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk itu. Memandangi langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ada yang salah dengannya.

Dengan tidak ada cahaya di kamar itu hanya mengandalkan cahaya senja diluar sana yang masuk menembus jendela dengan kaca keseluruhannya. Kamar itu menjadi orange. Namun kesan horornya masih ada, kamar itu hampir semuanya hanya berwarna hitam dan abu. Tidak ada warna yang disukainya selain itu.

Cowok itu menghela napa berat. Kini ia mengalihkan pandangannya pada cahaya orange, matahari disebelah barat akan tenggelam digantikan rembulan.

“Bunda kemana? Gak biasanya rumah sepi kaya gini,” gumam cowok itu.

Ia kembali beranjak, duduk dipinggiran kasur.

Alvendra kembali mengedarkan pandangannya. Kali ini pada salah satu barang yang masih ia simpan sejak tiga belas tahun lamanya. Tanpa sadar cowok itu mengulas senyum walau sangat tipis, nyaris tak terlihat.

Suara bernada rendah---suara AC ini yang sejak tadi menemani kesendiriannya di kamar, kini suara deheman seseorang membuatnya menoleh ke arah sumber suara.

“Ngapain senyum-senyum sendiri?” Kirana memasang wajah mengejeknya. Wanita itu bersidekap dada diambang pintu masih memandang anaknya.

“Mikirin siapa hayo?” godanya. “Gimana sama dia? Cantik kan?” Kirana melanjutkan perkataannya sambil mengambil langkah untuk mendekat pada sang putra.

Alvendra membalas perkataan Kirana dengan guliran bola mata, malas menanggapi. “Al, rasa dia gak perlu dijagain. Mukanya gak bully able, Nda.”

“Tapi bukan itu alasannya, Al. Ada hal lain. Ayah pasti belum kasih tau kamu semuanya, jadi kamu ngira dia itu sering di bully sama temen-temennya? Dia punya banyak teman, dia juga bersahabat, tapi ....” Kirana menghirup oksigen. “... dia butuh kamu buat jagainnya.”

“Bunda sekarang udah kaya Ayah. Al, gak tau apa alasannya, tapi cuma lihat kalian aja, Al, yakin pasti ada apa-apa. Jadi sekarang, Al pengen tau apa alasan dibalik ini semua.” Tatapan Alvendra menyiratkan semuanya, bahwa cowok itu sangat ingin tahu sebab ia menjadi penjaganya.

Aneh, jika tidak ada alasan pasti.

Alvendra tidak sebodoh itu. Ia semakin lama, dan hari ini menemui gadis itu saja mulai menyadari sesuatu yang sampai hari ini Ayahnya belum juga memberitahukan alasan ia dijadikan bodyguard gadis itu.

“Kamu tau tugas seorang bodyguard?”

Alvendra tidak bereaksi. Dia hanya diam, sedikit tertegun dengan lontaran kata dari Bunda Kirana.

“Bunda tau, kamu pasti mengerti.” Kirana menatap pada mata anaknya. Wanita itu tahu, jika anaknya itu pasti paham dengan apa yang sedang dijelaskan padanya. “Jadi, kamu dengerin aja apa mau Ayah kamu sekarang. Bunda juga tau, kamu pasti tertekan. Maaf, Al, kamu menanggung tanggung jawab ini.”

ALVENDRA [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang