“Waduh jadi ngerepotin lo.”
Celetukan Zidan yang membuat Alvendra tahu jika cowok itu sudah benar-benar sadar. Memang agak lain cowok itu.
“Nyokap lo ada di kamar sebelah. Jenguk Langit dulu.” Beritahu Alvendra. Dia duduk di kursi dekat tempat tidur Zidan, terlihat Zidan hanya mengangguk saja. Dia juga tahu kalau itu akan dimaklumi dan sahabatnya itu sama sekali tidak keberatan jika ibunya sendiri tidak langsung menemuinya.
Zidan menatap langit-langit putih itu. “Nyokapnya nggak bisa datang?” tanyanya meski sudah tahu jawabannya. “Kadang, gue merasa hidup gue kurang beruntung tapi setelah gue kenal Langit, malah hidup gue yang pailng beruntung.”
“Itu karena dia nggak pernah melihatkan kesedihannya ke kita. Dan juga kita harus bersyukur.” Alvendra menutup matanya sekejap.
Cowok yang terbaring itu malah mendengarkan tawanya. “Sejak kapan lo bener? Agak aneh kata 'bersyukur' keluar dari mulut lo,” ucapnya dengan cekikikan. Di kondisi seperti saat ini, Alvendra pasti tidak akan marah atau menjitak kepalanya.
“Mulut lo gue robek.” Tapi kata itu tidak pergi dari kondisi apapun. Alvendra menyugar rambutnya dan membuka matanya. “Gue nggak bisa lama di sini, gue cabut dulu. Kalau ada apa-apa, yang lain ada di luar.”
Mendengar itu Zidan menoleh. “Kayanya lo juga perlu di obati, Al. Tuh di pelipis lo ada darah, tapi kayanya udah kering,” ucapnya sekaligus memberitahu.
Alvendra sendiri baru menyadari itu, sejak selesai mereka dikeroyok rambutnya menghalangi dahinya, tapi dia tidak merasa ada darah yang mengucur di pelipisnya. Dia mengira itu keringat bukan darah.
“Udah biasa,” katanya. “Cabut dulu. Jangan lama-lama lo tinggal di sini.”
Walau kata-katanya terkesan ketus tapi Zidan mengerti perkataannya. Cowok itu mengacungkan dua jempolnya pada Alvendra.
Pintu terbuka sebelum Alvendra yang membukanya. Wanita seumuran ibunya membuka pintu. Dengan kesopanan yang telah diajarkan padanya, dia menyalami tangan wanita itu. “Maaf, Tan, Alvendra nggak bisa lama di sini, tapi besok pagi, Al, ke sini lagi.”
Wanita itu tersenyum ramah. “Enggak apa-apa, Al. Kamu juga harus istirahat. Hati-hati, ya, di jalannya.”
“Iya Tante.” Alvendra kembali menyalami ibu sahabatnya, lalu setelahnya membuka pintu.
“Kalian juga, pulang. Besok kita ke sini lagi,” ucap Alvendra pada sahabatnya yang masih setia di kursi tunggu ruangan Zidan dan Langit.
“Iya, Al, lo duluan aja. Kita nanti dulu,” balas Iksan yang sedang duduk di sebelah Allen. “Wajah lo makin pucet, Al, lo nggak pa-pa?” Kini dia bertanya seperti itu setelah melihat wajah cowok itu yang terlihat semakin pucat. Iksan mengerutkan keningnya kala dia menyadari sesuatu yang terjadi pada cowok itu.
“Iya, Bang, pucet gitu, kenapa?” Satria ikut berbicara. Ternyata benar perkataan Iksan itu.
Alvendra mengabaikan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia berbalik badan, tidak ingin memperpanjang pertanyaan mereka itu.
Mereka yang di sana merasa ada yang tidak beres dengan cowok itu. Terkecuali Gabriel.
Dering ponsel Gabriel membuat keheningan itu terpecah, cowok itu menjauh dari mereka lalu menerima telpon yang masuk. Dia mendengarkan suara orang itu sebelum dia mejawab pertanyaan yang ditanyakan padanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALVENDRA [Hiatus]
Teen FictionNew Version Alvendra said; Lupain sedihnya atau kamu tidak akan bahagia. Singkat saja ini kisah Alvendra dan Nazeera yang semula hanya orang asing tak saling mengenal tak ada rasa apapun dihati mereka. Hingga akhirnya mereka saling jatuh kedalam per...