08. Something.

135 26 2
                                    

.

Bab 08

.

“Ya, karena gue tau. Gadis yang lo cari. Selama ini dekat sama lo tapi lo sendiri gak kenal sama dia.”

Tawa kemenangan mengalun darinya. Andra puas kali ini. Sangat. Cowok itu melipat tangan didadanya dengan bangga. Seolah sedang menantang cowok di depannya.

“Lo lagi mempermainkan gue?”

Tidak ada nada tinggi. Melandai bagai ombak lalu berakhir menabrak batu karang dengan kerasnya. Ucapannya bisa membuat lawan bicaranya terdiam. Cowok itu tidak akan meninggikan suara saat sedang emosi menguasi dirinya. Ia lebih memilih mendatarkan suaranya.

Andra menurunkan senyumnya. Yang dia lihat, cowok itu sangat bahaya.

Namun tak lama, Andra melihat senyuman miring dari cowok di depannya. “Gue kira lo pinter. Nyatanya, nol. Lo kira gue bakal percaya gitu aja? Lo nggak tau semuanya. Siapa bilang semuanya lo tau?”

Dua cowok itu saling melayangkan tatapan tajam mereka. Alvendra maju satu langkah. “Ada yang kurang. Lo nggak tau gimana perasaan gue kalo dekat sama dia. Sedangkan lo cuma manfaatin kata 'Peri Zee'.”

Memang. Ada satu lagi yang pasti diketahui gadis itu jika memang benar-benar dia lah gadis itu. Ini tidak akan diketahui oleh siapapun.

“Panggilan dia ke gue.” Senyuman devilnya kembali tersungging sangat menawan. “Lo lupa, kalo gue gak sebodoh itu.”

Sial. Tangan Andra mengepal kuat. Tapi dia juga yakin jika gadis itu pasti tahu tentang panggilan itu.

Banyak yang menonton kejadian di depan gerbang itu. Alvendra sudah berjanji akan menjemputnya di depan sekolah. Dia lakukan. Janji adalah janji, dia tidak akan mengingkarinya. Termasuk janji apapun itu.

Sore itu, langit tidak berwarna orange, matahari bersembunyi dibalik awan hitam.

Tatapan itu beralih pada seorang gadis yang baru saja datang. Berdiri di dekat pos satpam. Cowok itu memberikan dua tepukan di pundak Andra. Ia pergi untuk menghampiri gadis itu.

“Ayo. Katanya bunda mau ketemu sama lo.” Alvendra tidak bohong. Sebelum ke sini, ia di telpon Kirana untuk membawa gadis itu ke rumah mereka.

“Mendadak?” Gadis itu tampak bingung.

“Iya. Boleh minta nomor telpon tante Nadine?” tanya Alvendra. Suaranya melembut. Bagai kain sutra diusap, rasanya begitu halus jika dapat disentuh. Sebetulnya juga dia sering menyuruh bundanya untuk menghubungi ibu Nazeera jika ada apa-apa, seperti kemarin-kemarin.

Ouh, iya.” Nazeera menunduk. Dia menghindar tatapan cowok itu. Ada perasaan aneh, jika menatap mata cowok itu jika terlalu lama. “Nanti gue kirim, ya. Dan sekarang, ayo. Orang-orang liatin.”

Tanpa sadar cowok itu tersenyum. Tanganya ikut naik dengan refleks, mengusap kepala gadis itu. “Yaudah, ayo. Gue bisa minta sesuatu sama lo?”

Detak jantung yang berpacu kencang itu masih sama, malah semakin menggila. Bisa-bisanya cowok itu tidak bereaksi apa-apa setelah melakukan itu. Gadis itu mengangguk dengan cepat, dan menarik tangan cowok itu. “Nanti aja, ayo. Nanti jadi bahan ghibah. Gue gak tau besok bakal seheboh apa.”

ALVENDRA [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang