22

32 5 0
                                    

.

.

Happy Reading!

Vote dulu sebelum membaca!

.

.

Brugh.

Tas ransel bewarna hitam itu terlempar kearah lantai dengan keras. Anka, perempuan itu membuka seluruh pakaian nya dengan tergesa-gesa, menyisakan tanktop dan hot pants bewarna hitam yang senada.

Ia memandang lekat tubuhnya di cermin meja riasnya, menampilkan lekuk tubuhnya hingga sampai batas lutut. Air matanya luruh, tapi ekspresi nya masih datar seperti tidak terjadi apa-apa.

Ia mengernyitkan kening, memandang tubuh dicermin itu dengan jijik. Sedetik kemudian dia mengaruk-garukkan badannya dengan kasar seperti orang kesetanan. Ia merasa benar-benar jijik dengan tubuh ini, ia seperti ingin membakar  dan mengganti dengan tubuh lain.

Anka mencakar-cakar tubuhnya dengan air mata yang berlinang. Ia tidak ingin seperti ini, namun tubuhnya lah tidak dapat ia kendalikan. Seolah reaksi yang ia lakukan seperti sudah sewajarnya. Anka menangis, ia sungguh menderita. Tubuhnya kotor dan sudah rusak. Hal itu terus menghantui pikiran-pikiran nya, seolah mendoktrin kepalanya setiap hari.

Anka membongkar laci meja riasnya untuk mencari sesuatu. Sebuah gunting tajam ia dapatkan, ia tersenyum senang seperti mendapatkan sebuah mainan baru. Tanpa ragu-ragu ia menancapkan gunting itu dibagian perut sebelah kiri.

"Shh." ringisan itu keluar tatkala ia mencabut gunting itu dari perutnya. Darah mulai merembes membasahi tanktop yang dipakai olehnya. Ia tersenyum lega, seolah hal itu dapat menghentikan segala suara berisik yang ada dikepalanya untuk menyuruh dirinya membunuh setiap orang yang berdekatan dengannya.

Pandangan Anka mulai berkunang-kunang, telinganya terus saja berdenging. Anka berpegangan pada ujung meja riasnya dengan mata yang terpejam. Rasa sakit pada perutnya semakin menjadi, ia ambruk kelantai yang dingin itu. Meringkuk kesakitan sendirian. Airmata nya kembali luruh, tidak ada isakan sama sekali. Perlahan kesadaran itu terenggut, tapi sebelum tertelan kegelapan samar-samar ia mendengar suara memanggil namanya.

"B..bunda.." lirihnya.

"ANKA!!!"

Gladis menyusuri koridor rumah sakit dengan tangan terkepal. Sorot matanya memerah menahan air mata yang siap meluncur. Di ujung koridor dapat ia lihat Nana bersama bunda Nada tengah menunggu di depan sebuah kamar rawat inap. Gladis dengan cepat menghampiri keduanya.

"Bunda.."

"Gladis!" seru Nada ketika melihat Gladis datang, Gladis langsung memeluk Nada dengan erat seolah menyalurkan kekuatan padanya.

"Anka kenapa lagi bunda?"

"Bunda juga engga tau kenapa, bunda rasa Anka tertekan karna memendam semua ini sendirian. Anka menusuk dirinya," lirih nya

"Gapapa bunda, bunda engga sendiri ada kita disini. Kita lalui ini sama-sama, ya?" sahut Nana.

"LUCILLE!" teriakan dari seorang lelaki membuat mereka tersentak. Mereka menatap di ujung koridor, melihat siapa yang meneriakkan bunda Nada dengan tidak sopan seperti itu. Lelaki itu tergesa-gesa menghampiri mereka.

P A N A C E A (O N  G O I N G)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang