Prolog

175 12 3
                                    

Hallo para readers!

Jatuh cinta itu ga pernah salah, hanya saja keadaan yang tidak memungkinkan.

So, happy reading buat kalian semua!

🌻

Seorang gadis berdiri tegap, menatap langit dengan sayu. Netra cokelat terang itu terlihat sangat putus asa. Pelupuk matanya seperti sudah tidak dapat membendung lagi air mata yang sudah menggunung. Kini buliran itu mengalir deras dengan sendirinya. Tidak! Gadis itu tak terisak sama sekali. Ia hanya diam, seraya menggigit bibirnya yang hampir berdarah saat ia meredam segala suara yang berusaha keluar.

Lagi. Ia menatap langit seakan penuh tanya, berharap langit segera menjawab ribuan pertanyaan di otak kecilnya itu.

"Kenapa?" suaranya tercekat. Rasanya sungguh sakit ketika ia memaksa berbicara. Ia terduduk lemas, merasa kakinya yang tiba-tiba kram otot. Tapi sekuat tenaga ia melawan. Perlahan ia berdiri, meskipun rasanya sakit.

"KENAPAA?" teriaknya sekuat tenaga. Lalu ia menangis, menangisi nasibnya yang cukup miris. Kata bahagia rasanya sulit sekali ia dapatkan, selama 18 tahun ia hidup, apa ia harus sengsara terus-menerus? Ia merasa, semesta tak berpihak padanya.

Kali ini ia ingin membangkang, menolak segalanya. Menolak kenyataan bahwa ia tidak siap. Sudah cukup menerima penderitaan ini dengan tangan terbuka. Kali ini jangan berharap.

Tangan mungil itu memegang medali emas yang tergantung di lehernya. Baru saja ia dapatkan medali yang ia tunggu-tunggu selama 18 tahun. Medali yang akan ia persembahkan pada orang yang paling ia cintai. Pada orang yang selalu mendukung dirinya selama ini. Tapi hari ini ia dipatahkan keadaan lagi.

Ia tak dapat menunjukkan apa yang ia dapat hari ini pada satu-satunya keluarganya. Tidak! Bahkan untuk sekadar pamit saja ia tidak berkesempatan. Jika tahu begini, ia tidak akan mengikuti kata hati nya. Persetan dengan mimpi sialan, itu.

"Bunda," panggilnya. Ia terduduk lagi dihadapan gundukan tanah yang masih basah itu.

"Lihat aku menang bun," suaranya kembali tercekat ia merasa tenggorokan nya seakan-akan dipaksa putus. Jemarinya masih meremas medali yang tergantung di lehernya.

"Kenapa bunda berbohong? Katanya akan menungguku pulang, apa bunda tak mau, menyambutku? Apa bunda lelah menunggu, diriku? Apa bunda marah padaku?" ia bertanya dengan wajah yang penuh linangan air mata.

"Bunda, maafkan aku!"

"Maafkan aku yang terlambat. Apa bunda tidak merasa sakit, lagi? " tanyanya.

"Tidak apa-apa bun, aku baik - baik saja. Bunda sudah sehat disana. Pastikan bunda masuk surga, yaa? " lalu ia menangis histeris di depan makam bunda tercintanya. Tangisannya sungguh pilu.

Gadis itu Aini Lovrianka. Gadis yang begitu mencintai ibunda nya. Ia baru saja memenangkan lomba pianis antar sekolah yang telah Ia tunggu selama 18 tahun. Ia menerima medali emas yang akan  di hadiahkan kepada sang ibunda. Tetapi naas nya yang ia dapatkan hanyalah kabar kematian.

Bahkan ia tidak sempat untuk menyatakan salam perpisahan kepada ibunya. Penyesalan itu mulai merambat dalam otaknya. Semua perjuangan serta kerja keras sang ibu yang kini membuahkan hasil, tapi kejamnya semesta tak memberikan izin untuk menikmati hasil itu bersama dirinya.

"Bunda, berbahagialah disana maka aku juga akan berbahagia,"

"Aku mencintaimu."

Wah, jadi bagaimana nih komentar kalian tentang prolog nya? Jangan lupa vote and coment, yaa. Karna itu buat aku makin semangat buat lanjutin ceritanya.

Katakan sesuatu di kolom komentar yaa!

Love you all!

P A N A C E A (O N  G O I N G)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang