Sepulang dari mengunjungi makam ibunda Asmi, Tama mengajak istrinya itu untuk mampir ke rumah Pak Haji. Dia sadar, kedatangannya pun memang sudah ditunggu. Perlahan, Tama mengendarai motor dengan hati-hati.
Kedatangan mereka berdua disambut layaknya keluarga oleh Pak Haji beserta istri. Terlebih Bi Haji memang sudah menunggu-nunggu kedatangan Asmi.
"Nginep, kan, Asmi? Ya ngineplah, ya, masa enggak?" tanya wanita yang lembut dan dihormati banyak orang itu.
"Eeemmh …" Asmi melempar pandangan pada suaminya. Dia tidak memutuskan, karena Asmi akan menjawab sesuai dengan keinginan Tama.
"Pasti, Bu Haji. Kami akan menginap bila memang diizinkan," jawab Tama tenang, "tapi belum sekarang. Rencanaya, kami memang akan tinggal beberapa hari di sini. Sementara kami tidur di rumah Pak Maman."
"Oh, gitu. Baiklah. Kapan saja kalian mau tinggal di sini, pintu rumah selalu terbuka untuk kalian."
"Terima kasih atas perhatian Bu Haji."
Tama tersenyum lega. Mengetahui bahwa akan selalu ada keluarga yang menyambut dirinya.
Asmi buru-buru bangkit untuk berpamitan ke kamar kecil. Agaknya dia sudah tidak tahan lagi.
"Permisi!"
Derit bunyi kursi di meja makan, tempat mereka berkumpul berbunyi nyaring. Seiring langkah kaki yang Asmi yang goyah. Sebelum menjangkau kamar mandi, dia pun keburu muntah.
"Hueeekk!"
Asmi memegangi perutnya. Isi lambungnya benar-benar tumpah.
"Maaf, Bu," rintihnya pelan, "Hueeekk!"
Bu Haji lekas-lekas memegangi Asmi. Begitu juga Tama yang siap siaga di belakang istrinya.
"Nggak pa-pa, Asmi. Muntahkan saja biar lega."
Setelah muntah Asmi pingsan. Bu Haji segera membimbing Tama untuk membawanya ke kamar yang memang telah disiapkan untuk mereka. Asmi dibaringkan di atas tempat tidur. Bu Haji, mengelap sisa muntahan di area bibur Asmi dengan tisu basah.
"Jangan panik," ucap wanita itu ketika mendapati Tama begitu cemas sampai tangannya gemetaran.
"Tenang, Tama. Sekarang Bapak tolong jemput Bidan Nurul," ucap Bu Haji memberi komando.
"Baik, Istriku."
"Tama, tolong usap-usap Asmi-nya pake minyak kayu putih. Di bauin juga deket hidungnya, ya. Ibu mau bersihkan bekas muntahan."
"Biar saya aja yang bersihkan."
"Tidak perlu. Temani saja, Asmi, ya," pinta Bu Haji tenang.
Wanita itu pun segera meninggalkan Asmi bersama suaminya. Tama sangat khawatir, dia menyesal telah mengabaikan tanda-tanda sakit Asmi selama beberapa hari sebelumnya. Meskipun dia menolak untuk periksa, seharusnya Tama memaksanya.
Apakah ini gara-gara Asmi kelelahan akibat ikit berkegiatan di kebun dan di kandang? Tama merasa sangat bersalah.
"Asmi, kenapa, Sayang?" ucapnya berbisik sambil mengusap-usap kening Asmi dengan minyak kayu putih.
Tak berapa lama, terdengar suara mobil Pak Haji. Diikuti langkah-langkah cepat yang menuju ke kamar tamu.
"Assalamu'alaikum," ucap seorang wanita setengah berbisik.
Wanita itu adalah Bidan Nurul yang langsung memeriksa keadaan Asmi. Dia mengeluarkan stetoskop, tensimeter, dan barang lain yang dia perlukan.
Sambil memeriksa Asmi yang masih tak sadarkan diri, Bidan Nurul mengajukan beberapa pertanyaan pada Tama. Pertanyaan yang membuatnya sampai pada satu kesimpulan. Ketika Asmi mulai sadarkan diri, Bidan Nurul masih menungguinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSYAALLAH, SUAMIMU JODOHKU (TAMAT)
Roman d'amourDia membawaku pulang ke rumah, tempat ketiga istrinya tinggal. *** PLEASE, FOLLOW SEBELUM BACA. Dikomen yuk🙏🥰🤗🤗 Sobat Wattpad. teima kacii