47. Perpisahan

1.3K 56 2
                                    


47. Perpisahan

"Tama, apakah perlu kita melakukan itu?" Sejenak Asmi meragu, sebab dia sendiri tidak tahu apakah keputusan itu diambil Tama dengan berpikir jernih.

"Aku sudah lihat semuanya, Asmi. Lain kali, mungkin bisa terbunuh di sini. Di rumahku sendiri. Aarggh!"

Tama mengerang saking geramnya. Bahkan setelah menampar Maryana, amarahnya tak kunjung reda. Membuat Asmi, meraih tangan kekarnya itu. Menggenggamnya dengan penuh kelembutan. 

"Tama, tolong jangan marah lagi. Tidak sepadan merugikan kesehatan. Kita bicafa lagi nanti. Sekarang aku akan membuatkan mi untuk kita berdua. Oke?"

"Tapi, Asmi."

Asmi berjinjit untuk memberikan kecupan di pipi Tama. Membuat pria itu terdiam sejenak.

"Sekarang duduklah, Tama. Aku akan siapkan segera. Tunggu, ya." Asmi berlari kecil ke arah dapur. Sambil menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas akibat kecupan itu. Wanita itu bahkan tidak menyangka, kalau pada akhirnya dia berani melakukannya. 

Itu adalah sebuah bentuk usaha untuk meredam amarah, yang sepertinya cukup berhasil. 

"Bapak mungkin perlu menghubungi Kak Sita. Kita tidak bisa pergi tanpa berpamitan dengannya."

"Baiklah."

Asmi mengambil dua bungkus ramyeon dari kabinet. Lalu mendidihkan air, sambil menaruh teh dalam mug, untuk kemudian dia seduh. Asmi telah memikirkannya. Dia setuju untuk pergi bersama Tama.

Sambil menyiapkan mi, Asmi mencuri dengar pembicaraan Tama dengan Sita dalam sambungan telepon.

"Biarkan mereka berenang dan main-main di sana, Sita. Sekarang kamu pulanglah, ada yang ingin aku sampaikan. Ini hal penting."

"Iya, Sita. Biar nanti mereka dijemput Pak Yan. Ya, kami tunggu kamu di rumah."

Asmi keluar dari dapur mini menuju sofa. Di sana Tama sudah menunggunya.

"Sita dalam perjalanan pulang."

"Iya. Kalau gitu kita makan dulu, Pak."

Sebenarnya, Asmi tidak begitu lapar. Namun, untuk pertama kalinya, dia ingin makan mi bersama Tama. Mungkin juga untuk menghangatkan suasana. 

"Mana tadi yang sakit?" 

Tama membelai wajah istri mudanya. Memandangnya lembut dan penuh penyesalan, karena merasa gagal melindungi Asmi.

"Sekarang sudah baikan, kok. Ayo, kita makan selagi hangat."

"Baiklah, terima kasih, Sayangku."

"Jangan khawatir lagi, Pak."

Asmi tersenyum tulus. Memang sebelumnya, dia sangat menderita di bawah penguasaan kejam Maryana. Namun, melihat Tama dengan segala perhatiannya, Asmi jadi tak tega untuk mengeluh. Tama adalah orang yang sangat baik dan penyayang. Hatinya begitu lembut, dia juga punya kecenderungan menyalahkan diri sendiri. Asmi memahaminya. Untuk itulah, Asmi tidak ingin membebankan deritanya terlalu banyak pada Tama.

Wangi minyak wijen dalam hangatnya semangkuk mi dalam sup, membuat suasana menjadi lebih nyaman. Asmi membiarkan Tama menikmati makanannya. Tanpa bertanya bagaimana dia bisa kembali.

Asmi tahu, kalau suaminya itu adalah belahan jiwanya. Entah bagaimanapun, Tama pasti akan datang di saat Asmi sangat membutuhkannya. Tidak, sejak awal Tama memang selalu begitu. Dia bahkan datang ketika Asmi nyaris saja jatuh ke jurang prostitusi. Sedari awal Tama memang selalu menjadi pahlawan penyelamat baginya. Super hero dalam kehidupan nyata. 

INSYAALLAH, SUAMIMU JODOHKU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang