33. Hampa Tanpamu

997 55 0
                                    


"Aku terberkati dengan kehadiranmu Asmi."

Tama mengungkapkan betapa bersyukurnya dia bisa memiliki Asmi sambil mengusap-usap punggung istri mudanya itu.

"Justru akulah yang sangat terberkati, Pak. Bersamamu, rasanya aku jadi seperti punya ayah, punya kakak, punya teman, punya  … kekasih, dan semua itu ada dalam dirimu."

Asmi merenggangkan dekapannya. Dia melepaskan tangan dari tubuh Tama untuk duduk di samping pria itu.

"Iya, lah, katanya kita bestie?" tanya Tama dengan jenaka, membuat keduanya tertawa.

"Bestie." Asmi mengulang kata itu sambil mengangguk-angguk. Sebelum kemudian tawa di antara mereka mereda.

"Sekarang, beri tahu aku, kenapa Bapak sepertinya sedih? Apa hanya dugaanku saja?"

"Emh, itu. Aku rasa biar kusimpan saja sendiri Asmi. Aku tidak ingin berbagi kesedihan denganmu, bukan itu yang kuinginkan."

"Jangan seperti itu, Pak. Sekuat apapun dirimu, jangan seperti itu. Tidak sekarang, karena Bapak sudah punya bestie. Ceritakan apa saja padaku. Susah senang, aku akan terima. Aku ingin belajar, benar-benar mengenalmu."

"Iya, tapi itu akan membebanimu, Asmi."

"Apakah aku akan diam saja mengetahui Bapak juga menanggung beban itu sendirian?" Asmi menatap Tama dengan wajah penuh perhatian, menunjukkan simpatinya yang begitu besar sejak mereka mengakui bahwa mereka saling mencintai.

"Baiklah, kalau kamu bersikeras Asmi. Sejujurnya aku tahu, kalau bukan kamu yang memaskukkan daging ke dalam masakan. Aku juga tahu, alasan mengapa Aida menghadiahimu parfum--"

"Apa, Pak? Maksudnya gimana? Parfum?"

"Benar. Aida sengaja menghadiahi parfum yang sama dengan yang biasa dia pakai ketika bersamaku. Dia ingin agar kebersamaan kita, ya begitu, tapi aku harap kamu jangan membencinya."

"Jadi itu alasan Bapak memintaku membilas tangan yang terkena parfum itu?"

"Benar."

"Mereka juga yang sengaja memberi daging dalam masakan agar aku salah di mata Bapak?"

"Asmi, tolong tenang, ya."

"Iya, Pak. Aku hanya nggak menyangka semua ini bisa terjadi."

"Itulah yang membuatku merasa sedih dan gagal. Bahwa aku tidak dapat membuat kalian semua rukun, tidak bisa membuat rumah ini tentram dan damai. Aku merasa tidak berguna."

"Sssh! Jangan bilang begitu, Pak. Tolong berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Ini bukan kesalahan Bapak. Bukan sepenuhnya. Coba pikir lagi, saat mereka sama Bapak, mereka udah dewasa. Udah punya karakter sendiri."

"Mmmh."

"Suatu hari nanti, pasti kedamaian yang Bapak inginkan akan terwujud. Yakin, deh, itu." Asmi mengucapkannya dengan ceria. Membuat Tama merasa jauh lebih baik. 

Lagipula, Asmi ada benarnya. Mungkin kedamaian yang didambakan itu, akan ada. Walau bukan hari ini. Tama turut tersenyum menanggapi cara pikir Asmi yang terkadang di luar dugaan. Semakin hari, Tama semakin yakin kalau mereka berdua benar-benar bestie.

"Ayo, kita ke kabin," ajak Tama.

"Ya."

"Asmi, emh, mulai besok aku tidak tidur di kabinmu. Sampai jumpa bulan depan, ya."

"Oiya? Siap, Pak."

"Kalau urusan kebun dan ternak semua beres, kita pergi, berdua saja. Oke?"

INSYAALLAH, SUAMIMU JODOHKU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang