Loro

41 6 3
                                    

"Lumpia dan bakpia menjadi saksi awal mula ketidakjelasan Edo."

🤘🤘🤘

"Woy, Al!" suara Laila menginterupsi Ala yang sedang mengerjakan tugas, tapi ia tidak memberikan respon apapun.

"Tumben lo dateng jam segini?" tanya Laila ketika tidak mendapat respon dari Ala.

"Kepagian, sekalian mau ngerjain tugas," jawab Ala.

"Oh Ppkn ya? Gue udah sebagian, nyontek sisanya dong." Pinta Laila, Ala menyerahkan bukunya.

Seorang pria dengan tinggi 168 cm memasuki kelas, dengan menggendong tas merah di bahu kanannya, tak lupa dengan masker kf94 berwarna biru yang selalu ia gunakan. Ya, tidak salah lagi pria itu adalah Edo Firmansyah Putra. Ia langsung menuju ke bangkunya, tak sengaja tatapannya bertemu dengan Laila yang masih mengerjakan tugas.

"Apa lihat-lihat?" sungut Laila. Edo hanya menyengir sembari menggeleng-gelengkan kepala.

"Masih lanjut perangnya? Belum selesai aja dari tiga hari yang lalu," ujar Ala yang terheran-heran.

"Lo gak tau sih, dia semalem tiba-tiba malak gue lumpia," jawab Laila dengan kesal.

"Hah? Kok bisa sih? Hahahaa" tawa Ala meledak, ini benar-benar fenomena yang random.

"Gak tau tuh, koncomu," Ala melotot ketika mendengar kalimat Laila.

"Dih sejak kapan coba." Sanggah Ala.

Bel masuk berbunyi, kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasa. Sungguh hari-hari yang melelahkan untuk melewati kurikulum merdeka ini, apa lagi jika tidak ada jam kosong. Diharuskan untuk mempelajari semua mata pelajaran jurusan IPA dan IPS, belum ditambah dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Beginilah lika-liku menjadi angkatan percobaan.

Laila fokus dengan ponselnya, membuat Ala penasaran. Ala mencoba melirik sekilas, ternyata Laila masih perang dengan Edo. Ala menghela napas kasar, kemudian kembali memperhatikan pembelajaran. Belum ada lima menit memperhatikan materi, ponsel Ala bergetar. Ia melihat ada notif whatsapp masuk, tapi bukan dari kontaknya.

"Eh, Lai. Ini nomor siapa?" tanya Ala. Laila mengecek nomor tersebut dan ia langsung menemukan jawabannya.

"Oh ini nomornya Edo, gak lo save? Parah lo, Al." jawab Laila.

Ala tidak merespon ucapan Laila, jarinya menyentuh layar ponsel untuk membuka foto yang dikirim Edo. Ternyata itu adalah foto paparazi dirinya, sebenarnya Ala tidak masalah dipaparazi tapi tidak bisakah Edo memotret dirinya ketika sedang cantik? Bukan sedang melongo seperti ini.

+62 831 **** ****

[FOTO¹]
Hehee, lucu si mirip simpanse

mirip apanya? beda jauh

Iyaa, mirip dugong

lucu-lucu gini
dibilang mirip dugong

Lain kali pose lebih lucu lagi
biar persis kayak marmut

babi diem deh

Hah? Apa? Burem chatnya.

Ala menutup aplikasi whatsappnya, ia tidak ingin buang-buang tenaga dengan membalas chat tidak jelas dari Edo. Lebih baik ia mencatat materi yang disampaikan oleh guru, lebih bermanfaat daripada membalas chat Edo. Ala juga tidak paham apa yang merasuki Edo, biasanya ia akan berkomunikasi dengan Ala jika ada keperluan penting, tapi mengapa hari ini tidak? Sudahlah Ala tidak mau pusing memikirkannya.

🤘🤘🤘

"Gama gak masuk ya, Al?" tanya Laila yang sedang menyantap makanannya.
"Biasalah bolos," jawab Ala disertai kekehan kecil.

"Bolos mulu, napa ga didrop out sekalian dah,"

"Iya juga ya." Ala menganggukan kepalanya menanggapi sesi julid bersama Laila.

"Eh ngomong-ngomong jadi masuk osis?" tanya Ala

"Jadi dong, gue daftar sekbid 4, lo jadi?" Laila bertanya balik dengan antusias.

"Jadi, gue daftar sekbid 7." Jawab Ala yang dibalas dengan acungan jempol Laila.

Ala memang sengaja mengambil sekbid 7 yaitu Sastra dan Komunikasi dalam Bahasa Asing karena sesuai dengan dirinya yang gemar menulis dan mendalami hal-hal yang berhubungan dengan sastra. Sejak duduk di kelas VIII ia sudah mulai aktif di dunia kepenulisan, mulai dari mengikuti lomba, masuk ke komunitas, hingga menulis buku bersama teman-temannya. Meskipun Ala belum pernah menerbitkan buku solo, tapi ia akan terus berusaha dan yakin bahwa suatu saat buku yang Ala tulis memiliki banyak pembaca.

Bel masuk berbunyi, netra dipaksa untuk kembali melihat materi. Bahkan ketika bagaskara akan menyelesaikan tugasnya, mata masih menatap unsur-unsur kimia. Dengan sedikit rasa mengantuk yang semakin merasuk ke dalam jiwa, raga yang masih setia duduk di kursi dan otak yang sudah mulai lelah tapi masih berusaha menampung materi mata pelajaran selanjutnya.

Akhirnya jam menunjukkan pukul tiga sore lewat dua puluh menit, penderitaan masih belum berakhir karena ada pekerjaan rumah yang harus dibawa pulang. Mega mendung menemani langkah Ala menuju ke ujung gang, langkahnya semakin cepat seolah hujan akan mengguyurnya. Namun ternyata hujan tak kunjung turun hingga ia sampai di stand Yuza. Ala segera membantu bundanya yang kerepotan melayani pembeli. Setelah itu ia duduk, jarinya dengan lihai memainkan ponsel, dan beralih membuka arsip chat wa. Ada satu notif dari nomor yang belum ia simpan.

+62 831 **** ****

Mau tanya, bedanya lumpia sama bakpia apa?

ya beda

Iyaa, bedanya apa?

cari aja sendiri, intinya beda

Otheyy

Untuk kedua kalinya, Edo mengirimkan pesan kepada Ala dengan topik yang tidak penting. Mengapa ia menanyakan perbedaan lumpia dan bakpia pada Ala? Apakah ia tidak memiliki google untuk bertanya? Entahlah mungkin kepalanya habis terbentur tembok sehingga lupa jika ada aplikasi google di ponselnya.

🙌🙌🙌

Kamus:
Koncomu
>>Temanmu

🤘🤘🤘

Hai-hai para readersku...
Gimana nih part duanya?
Semoga kalian suka yaa😻
❤Terimakasih sudah mampir❤
Silakan meninggalkan jejak👣

—see u di part selanjutnya—

Mas EdoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang