3.

10.2K 731 12
                                    

°•.•✿════๏⊙๏════✿•.•°

"A-arfa.." Kevin terdiam kaku dengan bibir yang terasa kelu. Sebenarnya apa yang sudah dialami pria kecilnya selama dua tahun ini dan bagaimana bisa dia mendapatkan begitu banyak luka sayatan di tubuhnya, terlebih di bagian dada, lengan juga perut.

"Maaf tuan, apa yang sudah pria ini alami?" tanya dokter Luke pada Kevin.

Kevin menggeleng pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari Arfa. "Tadi dia tiba-tiba saja merasa sesak nafas dan sakit di dadanya, untuk luka itu.. saya tidak tahu"

Dokter Luke mengangguk, "Sepertinya tadi pemuda ini mengalami serangan panik, mungkin dia sudah beberapa kali mengalaminya akhir-akhir ini dan sepertinya tadi ada yang memancing serangan paniknya jadi membuatnya sesak nafas tak beraturan" dokter Luke kembali menatap lekat Arfa yang masih memejamkan matanya.

"Saya sarankan bawa dia ke psikolog untuk pengobatan, saya yakin pemuda ini mengalami sesuatu yang serius" ujar dokter Luke pada Kevin.

Kevin menatap tak percaya pada sang dokter. Bagaimana bisa pria kecilnya mengalami serangan panik sedangkan selama Arfa tinggal bersamanya semua baik-baik saja.

"Saya akan memasangkan infus karena pemuda ini dehidrasi kekurangan cairan tuan" dokter Luke beralih memasang infus di tangan Arfa dengan hati-hati.

Setelah semua selesai dan dokter Luke menjelaskan apa yang harus dilakukan Kevin dan di mengerti oleh Kevin.

"Hm baiklah, sekarang kau boleh pergi lanjutkan pekerjaanmu" ucap Kevin.

Dokter Luke mengangguk, ia membereskan peralatannya lalu berjalan keluar dan pergi dari mansion Kevin.

Kevin berjalan mendekati Arfa dan duduk di samping Arfa mengelus rambut hitam legam milik pria kecil itu. "Maaf hiks maafkan saya" isak Kevin yang tidak bisa menahan tangisnya membayangkan seberapa menderitanya kekasihnya selama ini.

"Hiks andai dulu saya mencari tahu kebenarannya sebelum saya menuduhmu hiks Arfa saya salah, saya siap dihukum" isak Kevin yang menjadi-jadi.

"Eungh hiks cakit tangan Alfa cakit hiks" isak Arfa yang merasakan sakit di tangannya yang diinfus.

Kevin menghapus air matanya lalu mengelus lembut kepala Arfa berusaha menenangkan pria kecil itu.

"Ssshtt tidur lagi baby Fa"

"Hiks cakit kakak tangan Alfa cakit hiks" isak cadel Arfa.

Kevin yang mendengar Arfa yang cadel pun merasa bingung tapi juga gemas dengan Arfa. Cadelnya menambah keimutan Arfa membuat Kevin ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri.

"Tangan Arfa sakit? yang mana sayang?"

"I-ini hiks lepas hiks cakit" Arfa mengangkat tangan kirinya yang terpasang infus menunjukkannya pada Kevin dan berharap Kevin mau melepaskannya.

"Tunggu sebentar ya, lihat itu cairannya sudah mau habis" Kevin menunjuk ke arah kantung infus yang tergantung pada tiang infus.

Arfa menggeleng ribut, "Nggak! hiks ngga mau hiks cakit mau dilepas aja huwaaa" isak keras Arfa membuat Kevin panik sendiri.

"Astaga baby Fa tenang dulu" tanpa pikir panjang Kevin langsung menggendong Arfa ala koala dan menimangnya pelan berharap bocah itu bisa sedikit tenang.

Dan benar saja, setelah beberapa menit tangisan Arfa sudah tidak terdengar. Walaupun dia masih sedikit terisak dengan kepala yang bersandar di pundak Kevin, itu sudah membuat Kevin lega.

"Tenang baby Fa.. sebentar lagi infusnya dilepas ya, biar tidak sakit lagi"

Arfa perlahan mengangkat kepalanya guna menatap wajah Kevin.

ARFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang