"Saya nggak percaya Rangga melakukan ini. Memang dia sering nggak serius belajar, tapi dia bukan orang yang suka adu jotos," ujar Khodijah.
"Tapi menurut Alano, Rangga yang menumpahkan minuman bahkan sampai gelasnya jatuh. Ditambah Rangga menyulut emosi anak saya," sanggah ibunya Alano.
"Kejadian menyenggol itu hal yang lumrah, Bu. Namanya juga kantin, penuh sama orang. Tapi soal Rangga yang menyulut emosi Alano, saya rasa itu terlalu dilebih-lebihkan."
Hanafi memijat keningnya. Dia mengira ibunya Rangga bisa lebih bijak menanggapi hal ini berhubung reputasinya sebagai tokoh masyarakat.
"Mohon ibu semuanya tenang dulu. Saya tidak berniat menyalahkan satu pihak, karena menurut para saksi, keduanya sama-sama salah. Saya juga kaget melihat Rangga terlibat perkelahian di sekolah. Hal ini baru terjadi. Namun saya sama sekali tidak berbohong. Tidak ada keuntungan bagi saya untuk berbohong,"
"Untuk Rangga, saya akan berikan hukuman. Sama juga dengan Alano. Hanya saja untuk Alano, ini menjadi peringatan terakhir ya, Bu. Jika Alano melakukan kekerasan kembali di sekolah, kami tidak segan untuk memberikan diskors," terang Hanafi.
***
"Rangga! Kamu apa-apaan pake berantem di sekolah?! Mau jadi sok jagoan?!"
Rangga segera keluar rumah untuk menghindari amukan Khodijah. Namun Khodijah tetap mengejarnya.
"Kerjaannya main catur di poskamling. Haha-hihi. Duit jajan dihabisin terus. Emangnya kamu kira Umi punya pohon uang?!"
"Mi, tapi Rangga juga ngaji. Umi nggak ngajar ngaji buat anak laki-laki, jadi Umi nggak tahu."
"Iya, Umi tahu. Umi tahu juga kalau kamu sering bercanda waktu ngaji. Mau jadi apa kamu, hah? Umi juga tahu kalau kamu berduaan sama cewek di pasar malam!"
Lalu seorang pria berkacamata datang bersama motor hondanya. Dia menghentikan motornya dan membuka gerbang.
"Mi, ada apaan? Kok teriak-teriak? Itu dilihatin tetangga," tanya Duta.
"Ini adek kamu berulah. Makanya, Ga, contoh abang kamu. Kuliah kedokterannya lancar. Dulu waktu sekolah nggak pernah berantem-"
"Mi, kita selesain di dalam. Nggak enak, ini aib keluarga-"
Rangga berteriak sambil menjatuhkan tubuhnya di pekarangan rumah. Kedua matanya memelotot, tubuhnya bergetar hebat, kedua kakinya terbujur kaku. Dia mulai meracau nggak keruan.
"Eh, itu Rangga kenapa?! Kesurupan atau ada penyakit epilepsi?!" seru tetangga yang sedari tadi menonton drama keluarga tersebut.
Khodijah memijat kepalanya sambil masuk ke dalam rumah. Duta menarik tangan Rangga, tapi langsung ditepiskan. Rangga malah pergi dan membanting pagar rumah.
***
"Bang! Abang!" teriak Nisa. Lalu dia mendapatkan Rangga duduk di gardu dekat kebun belakang kampung.
Rangga menoleh ke arah Nisa yang mendatanginya. "Lo tahu dari mana gue di sini?"
"Dari Pak Baehaqi sama Mang Rojali. Kan pada maen catur di poskamling. Mereka khawatir tahu ngelihat lo jalan kayak orang kesurupan ke kebon belakang."
"Emang mereka tahu kalau gue abis dimarahin Umi?"
"Ya, tahulah, Bang. Gosip di kampung kita kan cepet nyebar. Pak Joni aja yang lagi di kantor, nanti pas pulang bakal tahu. Dia kan di poskamling kalau waktu liburan doang."
"Lo nggak malu punya abang kayak gue?"
Nisa mengernyitkan dahi. "Malu kenapa?"
"Umi aja malu sampe marahin gue di depan umum. Kenapa yang jadi anaknya Umi bukan Bang Duta aja? Kenapa harus gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangga Bukan Bad Boy
Teen FictionRangga, bocah Kampung Utan Lestari. Hobinya main catur bareng gank bapack-bapack. Awalnya niat Rangga bergabung dengan gank bapack-bapack, karena ingin pedekate dengan anaknya Baehaqi, Nadzirah. Tapi Nadzirah menolaknya dengan alasan Rangga terlalu...