"Lari!" teriak Alano sembari menangkis serangan membabi buta dari lawannya.
"Apa?!" Rangga sendiri kewalahan untuk melawan musuh. Gara-gara dia menengok ke arah Alano, salah satu musuh berhasil mendaratkan bogem mentah di pipinya. Pipi kirinya berdenyut dan ujung bibirnya perih.
"Lari, pe'a! Kalau ketahuan, kita bisa diskors!" Alano berhasil berlari dan menggiring musuh menjauh dari gerbang sekolah.
"Eh, bentar!" Rangga menunggingkan bokongnya, dan ... broooottt!
"Gila! Lo makan apaan sih?! Lebih busuk dari comberan!" bentak salah satu lawannya.
Sementara yang lainnya batuk-batuk akibat menghirup gas beracun itu. Bahkan ada yang ingin muntah.
"Hahaha, mampus! Gayanya preman, tapi kena semburan gas gue aja K.O!"
Rangga menggunakan kesempatan ini untuk kabur. Dia yakin bisa lari dari mereka tanpa harus melawan. Akhirnya Rangga memanjat pohon mangga yang rimbun di salah satu rumah kosong, di jalan sempit yang agak jauh dari sekolah. Dia merasa tercekik, karena napasnya hampir habis. Tentu saja, karena dia berlari membabi buta. Bahkan Alano saja berhasil disalip.
"Naik cepetan!" teriak Rangga saat melihat Alano melintas.
"Emangnya nggak bakal ketahuan?" tanya Alano saat dia sudah memanjat dan berada di batang pohon dekat Rangga.
Seketika Rangga membekap mulut Alano. Ternyata kerumunan siswa SMP Negeri melintasi mereka.
Alano cukup terkejut melihat kerumunan itu melewati mereka begitu saja. Lalu dia menepiskan tangan Rangga yang membekapnya.
"Gila! Tangan lo kok bau sih?! Lo habis megang apaan?! Jangan-jangan lo habis boker terus nggak cuci tangan ya?!" tuduh Alano.
"Tadi sepatu gue nginjek tahi kucing. Terus gue ngeraba dan lupa cuci tangan."
Alano mengernyitkan dahi. "Ngapain diraba-raba, oon! Agak korslet ya lo."
"Heh, gue lebih pinter dari lo kali! Buktinya gue bisa nyari tempat persembunyian."
"Ya, mana gue kepikiran kalau bisa ngumpet di sini. Ternyata mereka idiot juga ya. Soalnya gue biasa ngelawan mereka. Jangan salah, gue bisa aja ngabisin mereka semua sendirian. Gue bukannya pengecut dengan lari gini. Gue cuma kepengen nggak diskors. Demi Elora juga." Alano menyengir.
Sembari berjalan pulang, Rangga menceritakan percakapannya dengan Elora saat di sekolah.
"Eh, kampret! Serius?!" Alano menggeplak kepala Rangga.
"Buset! Nggak perlu mukul juga kali! Ya, seriuslah!"
"Oke, gue kasih pelajaran kedua. Ayo, ikut gue." Alano mengajaknya ke toko aksesoris ponsel. Dia membeli headphone berwarna hitam dan menyodorkannya kepada Rangga.
"Buat apaan?" Rangga mengernyitkan dahi.
"Buat melengkapi citra bad boy lo. Lo punya MP4?"
"Ada sih di rumah."
"Isi MP4 lo lagu-lagu heavy metal. Atau apa aja, asalkan jangan yang mellow. Terus seragam lo jangan pernah dikancingin kayak yang lo pake sekarang. Rambut lo juga nggak usah pake gel atau apalah itu. Bikin kesan acak-acakan. Dan kalau bisa luka bekas tonjokan itu jangan hilang. Makin mantap."
Lalu Alano mengajarkan Rangga cara jalan seorang bad boy. Alano memakai headphone dan melingkarkannya di lehernya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Pandangannya lurus ke depan dan dagunya sedikit terangkat.
"Kalau bisa, lo ngelirik orang lain yang lo temui dengan tatapan datar. Jangan sinis, itu namanya lo ngajak berantem. Sebenarnya gue mau nyaranin lo ngerokok, tapi berhubung lo anaknya ustazah, jadi gue bikin lo bad boy versi medium aja."
"Tapi kan orang-orang nggak ada yang ngelihat isi musik di MP4 gue."
"Itu bakal diperluin kalau lo udah dekat sama orang lain. Tapi ingat ya, jaga jarak. Jangan terlalu polos sama orang baru. Beri kesan misterius. Pokoknya lo fokus dengerin musik pake headphone ini. Itu memberi kesan lo cuek."
"Boleh juga. Oh ya, ini headphone-nya gratis buat gue ya. Upah gue udah ditonjokin." Rangga segera berlari saat angkot melewatinya.
Alano hanya bisa pasrah dan dia menyesal telah membelikan headphone yang lumayan mahal harganya.
***
Rangga menghela napas lega ketika mobil di halaman rumahnya nggak terlihat. Itu artinya Khodijah nggak ada di rumah. Rahmat—abahnya Rangga—biasanya ke toko mebel miliknya menggunakan motor.
Usai salat asar, Rangga segera pergi ke poskamling. Di sana Baehaqi dan Rojali sedang fokus bertanding catur.
"Lah, lo kagak ngaji, Ga? Tadi si Rara udah pergi ke majelis taklim," ujar Baehaqi dengan tatapan tetap fokus ke papan catur.
"Sesekali libur, Pak."
Rojali mengamati wajah Rangga. "Lo abis berantem ya? Muka lo bonyok gitu."
"Ini mah biasa kali, Mang. Namanya juga anak laki." Rangga mengangkat kedua alisnya.
"Jangan kira itu keren, Ga. Apalagi tawuran. Lo bakal nyesel, karena reputasi lo bakal hancur. Sekali lo kelihatan nakal, guru-guru bakal ngelimpahin kesalahan sekecil apa pun ke elo. Ya, kecuali kalau lo ditonjok karena ngebela diri. Gue juga bilang sama anak gue yang cowok. Kalau dipukul, bales pukul lagi," terang Baehaqi.
"Perasaan lo dulu baek-baek aja. Rajin ngaji walaupun katanya lo suka ngantuk. Nggak pernah adu jotos. Pala lo abis kepentok ya?" Rojali terkekeh.
"Gue emang asalnya gini." Rangga beranjak dari duduk.
Sejak saat itu, dia jarang datang ke majelis taklim. Dia juga sering nongkrong di teras rumahnya. Dia berlagak menulis puisi sembari melirik dengan seksi kepada cewek-cewek yang melewati pagar rumahnya. Padahal dia sedang mencoba menulis bait lagu-lagu metal berbahasa Inggris. Meskipun dia agak kesulitan. Kan aneh jika dia nggak hafal lagu-lagu di MP4 miliknya sendiri.
Lalu Rangga yang biasa mentraktir gank bapack-bapack poskamling, sekarang dia malah hobi berutang. Entah di warung nasi uduk Mpok Jannah maupun di warung seblak milik Mpok Maemunah.
"Eh, Rangga kok sekarang kelihatan beda ya. Ganteng abis pokoknya. Gue suka gayanya." Dan puluhan pujian dari gadis-gadis Kampung Utan Lestari.
Rangga nggak segan menyibak rambutnya ke belakang saat mendengar pujian-pujian tersebut.
Sementara di kalangan ibu-ibu Kampung Utan Lestari mulai membicarakan Rangga dengan komentar negatif.
"Itu si Rangga, anaknya Ustazah Khodijah, kok jadi makin badung ya? Padahal dulu nggak lho. Kasihan deh Ustazah Khodijah sering marahin dia. Eh, si Rangga malah suka pura-pura kesurupan."
"Jarang ngaji di majelis taklim juga. Makanya banyak jin di badannya. Mungkin itu kesurupan beneran, bukan pura-pura."
"Sering ngutang juga sekarang."
"Ih, iya bener! Di aye aja udah berape tuh utangnya. Sampe kadang-kadang si Nisa yang bayarin," sahut Mpok Maemunah.
Namun Rangga nggak peduli dengan komentar-komentar negatif itu. Yang penting cewek-cewek di kampungnya mulai memujanya. Bahkan saat dia bertemu dengan Nadzirah, dia merasa cewek itu sering diam-diam memperhatikannya.
"Kamu jalannya lihat-lihat dong. Masa sampe nabrak tiang listrik," tegur Zulkifli saat sedang berjalan dengan Nadzirah.
Rangga tersenyum penuh kemenangan. Pesona gue nggak ada matinya!
Hai, readers! Jangan lupa vote dan komentarnya ya ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangga Bukan Bad Boy
Teen FictionRangga, bocah Kampung Utan Lestari. Hobinya main catur bareng gank bapack-bapack. Awalnya niat Rangga bergabung dengan gank bapack-bapack, karena ingin pedekate dengan anaknya Baehaqi, Nadzirah. Tapi Nadzirah menolaknya dengan alasan Rangga terlalu...