20. Awal Pertemuan

41 5 3
                                    

Setahun kemudian.

Rasanya Rangga tidak menyangka bahwa dia bisa bertahan di pesantren selama setahun. Sampai-sampai uminya takjub. Lalu yang tidak disangka adalah Rangga menjadi bahan pamer Khodijah saat mengobrol dengan tetangga.

"Iya, saya juga nggak nyangka banget kalau Rangga bisa betah di pesantren. Jadi rajin salat berjamaah di masjid. Pokoknya adem, MasyaAllah."

Biasanya Duta yang menjadi maskot keluarga tersebut. Ya, sesuai namanya, Duta. Namun Rangga menyalip begitu saja posisi Duta yang sudah bertahun-tahun menjadi juara bertahan.

Namun itu hanya bertahan sementara. Setelah itu Khodijah mendapatkan telepon dari pesantren bahwa Rangga membawa ponsel.

"Umi itu beliin HP buat hadiah karena kamu berhasil bertahan di pesantren selama setahun! Buat di rumah! Malah dibawa ke pesantren!"

"Mi, banyak wali santri ah. Malu." Rangga menutupi wajahnya dengan kertas menu yang di-laminating selama Khodijah berceramah panjang lebar di kantin wisma pesantren.

"Buat apa kamu bawa-bawa HP? Main Instagram buat nyari pacar? Itu kan tujuannya?!"

"Ih, Umi su'uzhon banget sama Rangga. Padahal Rangga paham banget pacaran itu haram. Masa Umi nggak percaya?" Sedari tadi Rangga berakting menjadi anak baik-baik. Suara dihaluskan bak putri keraton. Wajahnya dibuat sesantun mungkin dengan tersenyum sehalus sutera.

Namun tentu saja Khodijah tidak mempan dengan semua itu. Cukup sudah dia tertipu dengan topeng alim selama ini.

"Pokoknya selama liburan, kamu harus tetep di pesantren. Nggak ada pulang-pulang ke rumah meskipun deket. Biar kamu taubatan nasuhah!"

"Yah, Umi jangan kejam gitu!" Sampai Rangga memegang lengan Khodijah, tapi dilepas begitu saja.

Semua gara-gara hasutan Nanda sama Lee Min As nih!

"Lo berdua selama liburan nggak boleh pulang ke rumah pokoknya. Temenin gue! Ini semua gara-gara kalian berdua!" Rangga menunjuk Iman dan Nanda.

"Dih, kok gitu? Gue kan cuma ngasih saran biar kita nggak antri HP-nya Imin," elak Nanda.

"Mending selama liburan kenaikan kelas kita ikut camping aja." Imin menunjuk ke arah mading di depan kantor guru di sekolah.

"Ide bagus tuh! Banyak cewek-cewek yang ikut nggak ya? Kan romantis pas acara api unggun." Rangga menaruh jari jempol dan telunjuknya di bawah dagu.

"Ya, pasti dipisah lah! Orang ini acara pesantren! Mana mungkin santri dan santriwati digabung duduknya," protes Imin.

"Ogah ah gue. Nanti kulit gue gosong," tolak Nanda.

"Dih, cemen bat. Maho," hina Rangga.

"Padahal cowok yang punya kulit eksotis kayak gue itu lebih macho. Nggak kayak lo-lo pada yang kulitnya pucet. Ayolah, ikut. Kalau rajin ikut acara pramuka gini, nanti kita bisa jadi pengurus Koordinator Pramuka. Enak pokoknya. Kerjaannya camping dan jalan-jalan. Nggak kayak Bagian Keamanan yang boring," beber Imin.

"Lagian siapa yang mau ngejadiin santri yang kerjaannya bawa HP buat Bagian Keamanan." Rangga dan Nanda menoyor kepala Imin.

"Siapa yang bawa HP?!" Kemunculan Ustaz Sholeh membuat mereka bertiga lari terbirit-birit.

Akhirnya mereka bertiga mengikuti camping dan harapan mereka untuk menjadi Koordinator Pramuka tercapai di tahun berikutnya.

***

Setahun kemudian.

Sore yang cerah ini, Rangga bersama teman piketnya-yang tak lain adalah Nanda-sedang menjaga gerbang sambil mengunyah makaroni setan yang dibelinya di Al-Barkah Mart. Para santri menyebutnya makaroni setan, karena level pedasnya serasa ingin memaki sekitarnya.

Mereka agak jenuh, karena sedikit santriwati yang lewat. Biasanya jika Rangga piket, ada saja santriwati yang beralibi ingin pergi ke kampus dua karena bukunya ketinggalan.

Jika di luar jam sekolah dan ingin pergi keluar gerbang kampus satu, para santri harus menaruh papan nama kepada santri yang bertugas menjaga gerbang. Kesempatan inilah yang dijadikan para santriwati melihat Rangga dalam jarak dekat. Rangga pun dengan senang hati melayani para wanita yang haus oleh perhatian pria tampan sepertinya.

"Eh, Nda! Ada yang bening lewat!" bisik Rangga sambil menepuk pundak Nanda yang matanya hampir terpejam.

"Mana?" Dia mengucek matanya.

"Itu!" Rangga menunjuk seorang wanita cantik yang sedang masuk gerbang dan terlihat kebingungan.

Wanita cantik itu memakai jilbab warna salem. Dia memiliki paras yang cantik, hidung mancung, kulit putih, kedua bibir yang tipis, tapi kedua mata di balik kacamatanya yang terlihat tajam dan angkuh.

"Eh, dateng, dateng!" Rangga pun merapikan rambut dan seragamnya.

"Anak baru bukan sih? Tapi kok dateng sendirian? Biasanya anak baru yang mau daftar, dateng sama orang tuanya," bisik Nanda.

"Assalamualaikum. Maaf, mau nanya. Kantor pimpinan di sebelah mana ya?" tanya wanita cantik itu.

"Oh, mau ketemu pimpinan? Biar saya yang antar." Rangga dengan semangat langsung mengantarnya menuju kantor pimpinan.

"Anak baru ya? Biasanya kalau mau daftar itu datang ke Bagian Pengasuhan dulu. Terus kalau mau ketemu pimpinan harus janji dulu, tapi tenang aja. Saya bakal lobi sekretarisnya. Apalagi kalau yang dateng secantik Eneng." Rangga menyunggingkan senyuman termanisnya.

"Bukan, saya disuruh datang ke sini langsung dari anak pimpinan. Kebetulan saya ditawari ngajar disini," jawab wanita cantik itu dengan nada dingin tanpa menatap wajah Rangga yang senyumnya mulai memudar.

Mati gue! Ternyata dia ustazah!

The End

Hai, readers! Cerita ini merupakan flashback Rangga dari mulai sebelum masuk pesantren sampai dia bertemu dengan Seha di pesantren. Lanjutannya bisa dibaca di wattpad untuk 3 bab pertama. Selanjutnya di aplikasi Cabaca ya.

Urutan baca => Rangga Bukan Bad Boy - Rangga Bukan Pujangga - Rangga Bukan Bujangan.

See you in the next story!

Rangga Bukan Bad Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang