8. Motor Bad Boy

19 7 4
                                    

Ghaida menyuruh semua murid untuk membaca teks Bahasa Arab pada buku masing-masing secara bergantian. Bagi yang tidak memperhatikan, siap-siap saja mendapatkan hukuman yang sadis.

Sayangnya, kedua mata Rangga sudah merongrong ingin dipejamkan. Dia melihat Rois sedang melipat-lipat kertas yang Rangga yakin itu adalah surat cinta buatan makhluk senja di sampingnya. Rois itu mempunyai kebiasaan membuat puisi cinta yang dituliskan di sebuah kertas. Lalu kertas tersebut akan dilipat menjadi pesawat dan diterbangkan oleh tiupan cinta. Siapa saja perempuan yang mendapatkan pesawat itu mendarat di mejanya, maka dia adalah orang yang ditakdirkan untuk Rois. Padahal tak satu pun siswi yang sudi dan malah meremasnya atau mencabik-cabiknya.

"Man!" teriaknya.

"Kenapa, Rois?" tanya Ghaida. "Ini kamu yang nerbangin pesawat? Kamu itu udah SMP. Bentar lagi lulus juga. Masih main pesawat-pesawatan."

Rois berdecak kesal, karena pesawat cintanya malah salah sasaran. Ya, pesawatnya terbang melambung dan terjatuh di hadapan Ghaida. Namun Rois nggak mempunyai nyali yang tinggi seperti Rangga.

Rangga kira kasus Rois berlanjut sehingga dia akan mendapatkan hiburan. Ternyata Ghaida membiarkannya begitu saja. Bahkan pesawat cinta tersebut terinjak saat Ghaida melangkah ke meja berikutnya.

Kini, Rangga menengok ke belakang. Ternyata Pohan sudah tertidur pulas. Rambut beringinnya dibuat untuk menutupi kedua matanya. Ah, Rangga jadi mempunyai ide brilian!

"Minta air, cuy!" pinta Rangga ke Rois.

"Mulut lo jangan kena ya pas minum. Gue nggak sudi indirect kiss sama lo."

"Yee! Pikiran lo aja yang mesum. Bukan buat minum. Gue cuma minta dikit kok."

Lalu Rangga membuka tutup botol dan menuangkan sedikit air ke tutup botol. Dia memercikannya ke wajah Pohan.

Sontak Pohan memekik dan berdiri tegap. "Ampun, Bu! Bacanya udah sampe mana?"

Seketika semua siswa tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Ghaida segera menghampiri Pohan.

"Kamu baca di depan kelas semua teksnya. Kalau ada yang salah, ulang lagi dari awal," tandas Ghaida.

"Jahat lo, Ga. Kutu kupret emang!" Pohan melirik tajam Rangga yang sedang tertawa terpingkal-pingkal.

Kemudian Rangga berjalan maju ke depan. Dia menaiki meja guru dan berbaring di atas meja.

"Biar nggak capek, lo bacanya sambil gini aja. Kasian, Bu, si Pohan. Dia abis nyangkul kali, makanya dia ketiduran," ujar Rangga.

"Rangga!" teriak Ghaida.

Jika sudah begini, pasti tahu kan Rangga akan berakhir di mana? Ya, di ruang guru BK. Hanafi sudah menunggunya sembari menyisir jenggotnya dengan jari-jarinya.

"Pak, apa perlu saya yang telepon orangtuanya Rangga?" tanya Ghaida.

"Boleh-boleh. Silakan, Bu," ujar Hanafi.

"Bu, jangan telepon umi saya. Saya nggak apa-apa dihukum. Saya siap!" Rangga bergaya hormat kepada bendera.

"Nggak! Ibu kepengen biar orangtua kamu tahu kelakuan kamu di sekolah. Memangnya kamu pikir, Ibu takut?"

Rangga nggak bisa mengelak, karena Hanafi sudah menyuruhnya untuk segera menjalani hukuman, yaitu berjemur di depan tiang bendera.

Di sisi lain, Ghaida menelepon Khadijah. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, Ghaida segera menuju intinya.

"Begini, Bu. Saya ingin melaporkan tentang Rangga." Ghaida menceritakan kejadian di kelas. Juga kejadian sewaktu Rangga merayunya dengan cokelat.

"Masa sih Rangga seperti itu? Saya ini uminya. Saya juga paham dengan kelakuan anak saya. Mungkin ada anak lain yang menyuruhnya untuk melakukan itu."

Rangga Bukan Bad Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang