17. Pesta Perpisahan

17 6 3
                                    

Awalnya Rangga ingin kabur ke poskamling. Namun semenjak Baehaqi memarahinya yang mendekati Nadzirah, Rangga menjadi malas. Masa dia harus menerima omelan bertubi-tubi dalam sehari?

Baru saja dia melangkah ke luar pagar, dia melihat tetangga samping rumahnya. Seorang pria empat puluh tahunan memakai sarung dan kaus putih sedang duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu.

"Beh, ngelamun aja!" sapa Rangga.

Zay melambaikan tangan dan menepuk tempat di sampingnya. Lalu Rangga dengan antusias menghampiri pria yang menaruh peci hitamnya dalam keadaan miring. Itu memang ciri khasnya.

"Udah lama banget Rangga nggak ngelihat Babeh. Toko lagi rame ya?"

"Ya, gitu deh, Ga. Karyawan ada yang keluar, jadi lumayan kewalahan. Tapi udah ada yang baru, jadi sekarang bisa nyantai dulu. Udah sarapan belom?"

Tak lama kemudian seorang wanita memakai jilbab merah muda memasuki pagar rumah. Wanita tersebut sangat mirip dengan teman kecilnya Rangga, Seha, yang juga anak dari Zay. Hanya saja Seha kulitnya sangat kusam dan tidak terawat akibat sering bermain di bawah terik matahari menyengat.

"Lho, ada Rangga. Udah lama banget nggak main ke sini. Udah sarapan belom?" tanya Danita, istri Zay.

"Udah, ambilin aja jengkol baladonya, Ma. Rangga nggak bakal nolak."

"Serius ada jengkol balado sepagi ini, Beh?"

"Ada dong. Abis makan jengkol sama nasi anget, lanjut makan pisang goreng sama ngeteh. Terus kita tanding catur."

Rangga tersenyum lebar. "Ah, gila. Babeh emang nggak ada duanya."

Seketika Rangga seperti pulang ke masa kecilnya. Dulu dia sering sekali duduk di bangku panjang ini bersama Seha. Kedua orangtua Seha selalu memanjakan Rangga. Dari kecil Rangga selalu jauh dari Umi dan Abah. Makanya dia selalu bahagia saat di rumah Seha, karena Danita ada di rumah dan sudah seperti ibunya sendiri.

Namun semenjak lulus SD, Seha masuk pesantren. Seha jarang pulang ke rumah, karena pesantrennya dekat dengan rumah neneknya. Saat libur panjang, justru keluarganya pergi ke rumah neneknya sekaligus berkumpul bersama Seha. Makanya Rangga sudah agak lupa dengan rupa Seha.

"Oh iya, nanti lulus SMP mau lanjut di mana?" tanya Zay sembari mengunyah pisang goreng. Namun kedua matanya fokus dengan bidak catur di hadapannya.

"Kayaknya Umi mau masukin Rangga ke Pesantren Al-Barkah, Beh."

"Wah, bagus dong. Babeh yakin Rangga bakal betah. Seha aja seneng banget di pesantren."

"Tapi Umi niat masukin Rangga ke pesantren karena Rangga nyusahin. Mending dibuang aja ke sana."

Zay segera mendongak dan menatap Rangga. "Kenapa kamu bilang begitu?"

Rangga menunduk dan terdiam beberapa saat. "Babeh emangnya nggak pernah dengar gosip di kampung ini tentang Rangga? Tetangga pasti tahu. Mereka kan hobi banget ngegosipin Rangga. Atau Mama kan di rumah, pasti suka ngedenger kalau Umi marahin Rangga."

"Babeh tahu. Tapi Babeh lebih tahu Rangga itu gimana."

"Ustazah Khodijah emang kelihatannya keras, Ga. Tapi beliau sayang banget lho sama kamu." Danita datang dengan sepiring tahu isi. Ternyata dia sempat mendengar percakapan tersebut.

"Jadi orangtua itu berat. Pertanggungjawabannya sama yang di atas." Zay menunjuk ke arah langit. "Makanya Ustazah Khodijah yang paham banget sama agama kepengen Rangga menjadi anak yang saleh. Jangan berpikir Rangga dibuang. Kalau boleh jujur, Babeh sama Mama nggak kepengen jauh-jauh dari Seha. Tapi kami berdua mengalah demi kebaikan Seha. Bukan karena tega atau lebih jahatnya ngebuang."

Rangga Bukan Bad Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang