12. Amarah yang Berkobar

17 7 3
                                    

Gadis yang memakai bandana merah muda-adiknya Alano-melihat Rangga dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Sementara Rangga yang menyadari hal itu, dia segera menaikkan kerah seragamnya. Baru saja dia ingin menyibakkan rambutnya ke belakang, ada badai menerpanya. Lebih tepatnya, Alano bersin dan menyembur tangan Rangga.

"Itu azab kecil buat orang yang berani ngelirik adek gue," bisik Alano.

"Gue mau ke depan nyari tanah buat ngebersihin najis mughalazhoh." Namun langkah Rangga terhenti saat mendengar perkataan adiknya Alano.

"Temen lo, Bang? Tumben bawa yang tampangnya kayak boy band. Biasanya ini rumah udah kayak sarang mafia."

Wah, ternyata adeknya punya selera tinggi. Rangga segera menyibakkan rambutnya ke belakang. Namun dia tersadar bahwa tangannya itu masih ada cipratan air liurnya Alano. Dia harus creambath rambutnya sesampai di rumah nanti.

"Inget sama kembang desa yang jadi incaran lo. Jangan ngelirik-lirik adek gue!" seru Alano kepada Rangga.

"Apaan sih, Bang? Nggak usah sok jadi abang yang ngelindungin adeknya deh. Ngejaga diri sendiri aja nggak becus. Udah ah, gue mau kerja kelompok dulu sama temen-temen."

"Gila! Nggak salah denger gue? Beda banget sama adek lo yang baru aja pulang sekolah udah mau belajar lagi." Rangga menggelengkan kepala dramatis.

"Bener kata adek gue. Dia bisa ngejaga diri sendiri. Dan pastinya dia nggak bakal naksir lo, karena di otaknya cuma belajar doang. Ya, begitulah. Adek gue itu anugerah bagi orangtua gue, sedangkan gue cobaan."

"Lo pernah dibilang cobaan bagi orangtua lo?"

Alano mengangguk.

Rangga tertawa. "Ternyata kita kembar siam."

Setelah itu Rangga bermain game di kamar Alano sambil menyantap makanan yang disediakan asisten rumah tangga. Sampai saat dia menyadari bahwa ponselnya bergetar. Tadinya dia abaikan, karena dia sudah bisa menebaknya. Uminya yang mencarinya. Akan tetapi kedua alisnya berkerut saat melihat nama Rois terpampang pada layar ponsel.

"Kenapa, Is?"

"Woy! Lo ke mana aja sih? Kagak masuk sekolah dan nggak ngangkat telepon!"

"Panjang ceritanya. Besok gue ceritain."

"Eh, buset! Lo nyantai amat! Tahu nggak? Tadi Bu Ghaida nyariin lo! Parahnya si Jafar ngaduin ke Bu Ghaida kalau lo dan Alano tawuran. Tapi masalahnya, Alano ada surat izin sakit dari rumah sakit. Sedangkan lo nggak ada! Makanya tadi Bu Ghaida nelepon umi lo."

Rangga segera bangkit dan berlari keluar dari kamar Alano. Bahkan dia nggak sempat menjelaskan semuanya kepada Alano yang meneriakinya.

***

Sesuai dugaan, Rangga disambut oleh tatapan bengisnya Khodijah. Dia berusaha sesantai mungkin saat membuka pagar. Padahal tangannya sudah bergetar membayangkan amukan Khodijah.

"Kamu habis dari mana?"

Bahkan Khodijah tidak membiarkan Rangga melangkah untuk mendekatinya. Kedua bola matanya seakan ingin keluar. Kedua tangannya terlipat. Sosoknya berdiri seakan menutupi celah Rangga untuk kabur ke dalam rumah.

"Abis dari sekolah, Mi. Dari mana lagi."

"Sekarang kalau bohong udah lancar ya? Mau ngebikin Umi malu di depan wali kelasmu? Masuk cepetan!"

Rupanya sudah disiapkan kursi panas untuk Rangga. Dia bisa melihat Nisa mengintip dari balik sela-sela pagar pembatas tangga. Seolah adiknya ingin membela Rangga, tapi dia pun tidak berdaya.

Khodijah berjalan mondar-mandir di depan meja. Sambil sesekali mengembuskan napas.

"Selama ini Umi yakin kalau kamu anak baik-baik. Makanya Umi nggak pernah percaya semua laporan wali kelasmu. Umi pikir Bu Ghaida itu hanya guru muda yang gila pekerjaan, nyari-nyari kesalahan muridnya. Soalnya dulu waktu sama Bu Rif'ah kamu nggak kayak gini. Tapi tadi Umi ke sekolah kamu untuk ngebuktiin perkataan guru kamu, karena Umi malu ngebela kamu yang ternyata tukang bohong."

Rangga hanya bisa menunduk. Sebenarnya dadanya bergemuruh. Apalagi setelah itu uminya kembali merapal kata-kata, "Kamu itu cobaan bagi Umi." Hatinya terasa dihunus oleh pedang bertubi-tubi. Bahkan uminya nggak memberinya kesempatan untuk menjelaskan hal yang sebenarnya.

"Keputusan Umi sudah bulat. Sewaktu Umi tahu kalau kamu berbohong di kasus sebelumnya, Umi bilang ke Bu Ghaida kalau kamu berulah lagi, Umi bakal keluarin kamu dari sekolah. Kamu masuk pesantren. Nanti malam Umi akan telepon pimpinan pesantren kenalannya Umi."

"Mi, tapi kan bentar lagi UN!"

"Terus kenapa? Kamu aja nggak peduli dengan UN! Malah keluyuran dan bergaul dengan begundal-begundal. Umi nggak masalah kamu mengulang kelas 9 di pesantren. Yang penting kamu nggak berulah lagi."

"Nggak berulah atau Umi jadi nggak capek ngurusin Rangga? Oh, Rangga lupa kalau selama ini udah jadi cobaan keluarga ini. Makanya Rangga dimasukkin pesantren supaya semuanya tenang dan biar keluarga ini nggak terkutuk, kan?"

Rangga membanting tasnya ke lantai dan berlari ke luar rumah. Suara lengkingan Khodijah tidak menggentarkan langkahnya. Air mata sudah tergenang di pelupuk matanya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya.

Di tengah jalan menuju Poskamling, Rangga bertemu dengan Nadzirah. Kedua matanya menitikkan air mata.

"Gue—gue putus sama Zulkifli." Nadzirah menghapus air matanya dengan tangannya.

Rangga segera merangkul Nadzirah dan membawanya pergi. Rangga tidak peduli dengan tatapan para tetangga yang melihat pemandangan tersebut. Lebih tepatnya, dia sedang menyiram bensin supaya amarah uminya semakin berkobar.

Hai, readers! Maaf ya kalau udah lama nggak update. Semoga ga lupa sama ceritanya ya. Enjoy the story ❤️

Rangga Bukan Bad Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang