11. Malaikat Penyelamat

30 7 3
                                    

Rangga menemukan Alano terkapar di depan rumah kosong. Wajahnya dipenuhi dengan kebiru-biruan. Bahkan ada sedikit darah di ujung bibirnya.

"Gue dikeroyok," ujar Alano.

"Katanya lo bisa ngehabisin mereka semua sendirian," sindir Rangga.

"Gue kan kepengin tobat. Gue lari ke sini. Belum sempet gue manjat, gue udah ditarik."

"Kenapa lo tiap tawuran manggil gue sih?"

Alano terdiam. Namun saat Rangga menarik tangannya untuk memapahnya, Alano menjerit kencang.

"Tangan gue kayaknya patah."

Rangga semakin bingung. Dia nggak membawa kendaraan ke sekolah. Bagaimana cara dia menyeret Alano ke jalan besar untuk memanggil taksi?

"Lo tunggu di sini. Gue nyari taksi dulu. Lo kagak diculik jin rumah ini, kan?"

"Korslet ya lo."

"Oh iya gue lupa. Lo kan temennya mereka." Rangga segera berlari ke jalan besar.

Cukup lama dia menunggu sampai akhirnya dia mendapatkan taksi yang diberhentikan.

"Pak, bisa masuk ke gang sini? Temen saya babak belur."

"Kenapa temen kamu babak belur? Jangan-jangan buronan narkoba?" Kedua alis sang sopir berkerut.

"Kagak, Pak. Temen saya dikeroyok sama berandalan. Nggak tahu kenapa."

Akhirnya sang sopir menyuruh Rangga masuk.

"Maaf lah, Dek. Soalnya ada sopir taksi yang ditangkep gara-gara penumpangnya buronan narkoba. Saya jadi parno. Baru aja kemaren malem kejadiannya."

"Yaelah, Pak. Kita masih SMP. Nggak main narkoba."

"Justru anak sekolahan banyak, Dek. Hati-hati pokoknya. Jangan pernah berurusan sama orang make, apalagi pengedar narkoba. Salah, nggak salah, kita tetep kena."

"Siap, Pak. Nah itu temen saya." Rangga menunjuk rumah kosong tersebut.

Untung saja bapak sopir taksi berbaik hati menggotong Alano masuk ke dalam mobil.

"Mau dianter ke rumah sakit mana, Dek?"

"Yang terdekat aja, Pak. Saya takut temen saya keburu mengembuskan napas terakhir," jawab Rangga.

"Napas gue masih normal, pe'a!" sahut Alano.

"Lah, tadi katanya lo sekarat."

"Ya kan gue belom tahu rasanya sekarat. Tapi semua badan gue sakit banget, gila!"

Bapak sopir mengantarkan mereka sampai ke lobi rumah sakit.

"Cuy, ambil uangnya di dompet gue. Ada di saku celana. Awas, jangan salah megang," ujar Alano.

"Dih, naudzubillah min dzalik. Rugi dunia akhirat." Rangga bergidik ngeri.

Dia berusaha memasukkan tangannya ke dalam saku celana Alano sambil berkomat-kamit. Bukan, bukan zikir, tapi ..., "Mit amit ya, Allah." Begitu terus sampai dia berhasil meraih dompet Alano.

Namun dia tertawa terbahak-bahak saat melihat foto seorang cowok dengan poni dan potongan rambut seperti mangkuk bakso.

"Ini elo?!"

"Itu foto waktu baru masuk SMP! Cepetan bayar dan ambil kursi roda. Buruan! Gue sekarat nih!"

Usai membayar taksi, Rangga berlari ke resepsionis dan pegawai segera mengambilkan kursi roda ke depan taksi.

***

Rangga tetap menemani Alano di IGD. Tadi Alano meminta Rangga untuk menelepon seseorang. Rangga tebak orang itu semacam sekretaris ayahnya atau ajudannya, Rangga nggak terlalu paham.

Seorang pria muda berpakaian rapi datang hanya beberapa menit setelah telepon tersebut dan mengurus semua administrasi rumah sakit.

"Kok lo nggak nelepon orangtua lo?" tanya Rangga.

Mereka sedang menunggu sekretaris ayahnya datang untuk membawa Alano pulang. Saat ini, pria itu sedang menunggu resep dari dokter. Alano meminta untuk pulang dan enggan dirawat. Lagi pula ada dokter yang bisa dipanggil ke rumahnya.

"Keburu mati kalau minta orangtua gue dateng. Mereka dateng ke sekolah kalau gue dapet surat panggilan doang." Alano sejenak terdiam. "Sori kalau gue ngerepotin lo. Lo jadi bolos sekolah. Gue sama Jafar dan temen-temen yang lain udah nggak pernah barengan lagi. Apalagi waktu mereka tahu gue ikut pengajian."

"Pantesan lo jarang kelihatan bareng mereka akhir-akhir ini. Kan lo ketuanya. Masa mereka ninggalin lo seenaknya?"

Alano tertawa. "Lo kira kita semua bener-bener temenan? Di gank kayak gitu, siapa yang punya power dan uang, dia bisa mimpin. Ya, gue tahu mereka cuma manfaatin uang gue. Tapi gue nggak tahu kalau mereka anti banget sama orang yang mau tobat. Gue dibuang begitu aja."

"Jadi lo bener-bener mau tobat? Demi Elora?"

Alano menggaruk tengkuknya dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya di-gips. "Ya, sebenarnya ada alasan lain. Lo jangan bilang siapa-siapa. Jadi gank di sekolah kita suka nongkrong sama gank lain. Nah, dedengkotnya itu ternyata suka make. Gue juga baru tahu. Gue emang badung, cuy, tapi gue juga nggak bego. Gue nggak mau main begituan. Akhirnya gue keluar."

Suara Alano semakin memelan. Bahkan sebelumnya dia meminta Rangga untuk menutup tirai.

"Anak-anak SMP Negeri yang ngeroyok gue itu bukan karena gue pernah mukulin mereka. Tapi ketua mereka ditangkep gara-gara gue. Jadi Bokap udah marah besar sama gue gara-gara gue ketahuan nge-gank lagi. Di sekolah dulu gue juga punya gank, tapi bukan itu sebenarnya penyebab gue dikeluarin. Gue dikeluarin dari SMP sebelumnya, karena gue ngehajar murid sampe dia masuk rumah sakit. Lah, dia nuduh Bokap cerai gara-gara selingkuh. Gue nggak terima lah,"

"Lanjut ke soal gue dikeroyok. Jadi Bokap dapet info dari temennya yang kerja di kepolisian. Katanya anak-anak SMP di daerah sekitar sekolah kita banyak yang make narkoba. Cuma kan di daerah kita banyak sekolahan. Gue nggak mau dituduh, jadinya gue bilang kalau yang make anak-anak SMP Negeri. Gue juga nggak tahu, kok bisa mereka tahu kalau gue yang bocorin." Alano mengembuskan napas.

"Jadi lo beneran tobat gara-gara takut kena narkoba? Bukan karena Elora?"

"Dua-duanya, cuy. Terus gue pernah nggak sengaja ngumpet di masjid waktu dikejar gank anak SMP Negeri itu. Mereka kan nggak mungkin bakal nyari gue ke masjid. Eh, ada pengajian di sono. Gue nggak sengaja denger ceramahnya. Katanya kalau kepengen jodoh yang baik, ya kita harus memperbaiki diri kita sendiri."

"Ckck ... cerita lo udah kayak sinetron hidayah. Ternyata serem juga jadi bad boy." Pandangan Rangga menerawang.

"Makanya, cuy. Jadilah bad boy yang berakal. Jangan kelewat batas. Apalagi hanya demi cewek."

"Wah, nggak nyangka gue dapet wejangan dari mantan berandalan." Usai tertawa, Rangga teringat sesuatu. "Kok lo bocorin rahasia besar lo ke gue?"

"Lo udah nyelametin nyawa gue hari ini, cuy."

Setelah masalah administrasi dan obat-obatan selesai, Alano dibawa pulang. Ternyata dokter mengizinkan Alano untuk rawat jalan untuk memeriksa perkembangan tangannya yang patah.

Rangga ikut mengantar sampai rumah Alano, karena sekretaris ayahnya Alano hanya menyupiri sampai tujuan saja.

"Gila, rumahnya udah kayak di sinetron-sinetron," gumam Rangga.

Lalu keluar seorang Gadis memakai seragam putih dan rok merah kotak-kotak dari pintu rumah.

"Bang, lo tawuran lagi?!" teriaknya.

"Siapa, bro?" bisik Rangga kepada Alano.

"Adek gue."

"Cakep bener."

"Heh, langkahin dulu mayat gue!"

Hai, readers! Jangan lupa vote dan komentarnya ya ❤️

Rangga Bukan Bad Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang