Khodijah duduk di salah satu sofa. Di hadapannya sudah duduk dua perempuan dengan rambut seperti tidak disisir setahun. Belum lagi di bagian lengan Nadzirah terdapat bekas gigitan makhluk di sampingnya. Nisa sibuk mengelap tangannya yang terkena ludah Nadzirah dengan tisu.
Lalu di sofa panjang di samping kedua perempuan itu, Rangga dan ketiga temannya duduk dengan saling berhimpitan. Berkali-kali Rangga dan Pohan mendorong Alano dan Rois supaya menjauh, tapi semuanya terdiam saat mendengar suara dehaman Khodijah.
"Katanya umi lo pulangnya malem?" bisik Rois.
"Nggak tahu gue. Suka di luar prediksi—"
"Ehem!"
Rangga hampir tersedak air liurnya sendiri.
Sebelum Khodijah membuka mulut, terdengar suara motor masuk ke halaman rumah. Kemudian Duta dengan kemeja kotak-kotak dan ransel di pundaknya menghentikan langkahnya saat dia menyadari atmosfer di ruang tamu bagaikan dapur yang pengap.
"Ada apa ini, Mi?" tanya Duta sembari menyalami Khodijah.
"Biasa. Kelakuan dua adek kamu." Khodijah menatap Rangga dan Nisa dengan tajam secara bergantian. "Seharusnya kalian berdua contoh abang kalian. Nggak pernah neko-neko. Bisa masuk Fakultas Kedokteran. Nggak pernah pacar-pacaran."
"Bandingin terooss sampe kiamat," gumam Rangga.
"Kalau orangtua lagi ngomong itu didengerin, bukan dijawab!" Telinga Khodijah itu setajam burung hantu!
"Emang masalahnya apa, Mi?" tanya Duta sambil menarik kursi kayu di ujung ruangan.
"Itu abang lo?" bisik Alano.
Rangga mengangguk.
"Jadi kita kebalikan ya. Abang lo anugerah dan lo cobaan." Alano terkekeh. Namun segera terdiam saat Khodijah menatapnya bagaikan peluru yang menembus ulu hati.
Bagaikan mediator yang handal, Duta mempersilakan Nisa dan Nadzirah berbicara soal kronologi. Meskipun di tengah-tengah pembicaraan, mereka sempat adu mulut. Namun Duta mampu mendamaikan keduanya.
"Gue jadi berubah pikiran. Ternyata Bang Duta jauh lebih menawan daripada Rangga. Kayaknya hati gue berpaling," cetus Nadzirah tiba-tiba saat menatap Duta tanpa kedipan.
Nisa segera berlagak muntah. "Lo mau pake pelet apa pun, Bang Duta nggak bakalan mempan! Dia itu saleh seratus kali lipat dari Bang Rangga!"
"Nisa!" tegur Duta.
"Oh gitu ya. Awas aja lo minta uang jajan gue!" ancam Rangga.
"Dih, males gue minta sama lo, Bang! Lo mah miskin!"
"Rangga! Nisa! Diam semuanya!" Khodijah menggebrak meja.
Akhirnya mediasi antara Nadzirah dan Nisa bisa terselesaikan berkat Duta. Usai Nadzirah pulang, Alano bersiap-siap untuk berbicara. Dia akan membeberkan kejadian tawuran dan Rangga yang menolongnya.
Duta mendengarkan Alano dengan serius seraya mengangguk-angguk dan berkali-kali membenarkan letak kacamatanya. Bahkan saat Khodijah tidak memercayai penjelasan Alano, Duta mampu mengambil hati Khodijah.
"Tapi Umi tetap mau masukin Rangga ke Pesantren Al-Barkah," tegas Khodijah.
"Mungkin Rangga bisa masuk pesantren setelah Ujian Nasional," usul Pohan.
"Keputusan Umi sudah bulat."
"Mi, dipertimbangin lagi keputusannya. Rangga kan di pesantren harus adaptasi dengan lingkungan. Belum lagi Duta dengar kalau di pesantren harus memakai Bahasa Arab dan Inggris. Saat masuk nanti, Rangga harus fokus dengan pelajaran pesantren. Padahal Rangga kan harus mempersiapkan Ujian Nasional. Kalau setelah lulus SMP, seenggaknya Rangga hanya fokus ke satu hal aja, Mi," bujuk Duta.
Khodijah sesaat terdiam. Lalu menyetujui usulan tersebut.
Saat Khodijah dan Duta masuk ke kamar masing-masing, Alano mengajak teman-temannya keluar dari rumah.
"Misi kita berhasil!"
"Heh, berhasil apanya? Gue tetep masuk pesantren!" protes Rangga.
"Jadi rencananya gini, bro. Kita akan membersihkan nama baik lo. Siapa tahu umi lo berubah pikiran setelah melihat lo berubah." Alano mengedikkan bahu.
***
Alano sudah menyiapkan strategi untuk mengubah Rangga menjadi cowok saleh. Semua peta untuk menjadikan Rangga seorang bad boy dihapus sampai ke akarnya. Bahkan Alano meminta bantuan Elora untuk project ini. Elora menyambut project tersebut. Meskipun kenyataannya, itu hanya modus Alano belaka.
Saat Bu Ghaida menyuruh sekretaris kelas untuk membawakan tugas ke kantor guru, Alano segera menimpuk kepala Rangga dengan bola-bola kertas. Alano melirik keras ke arah tumpukan buku.
Rangga dengan setengah hati berjalan mendekati meja guru.
"Ada apa, Rangga? Kamu tugasnya udah ngumpulin, kan? Awas kalau nggak ngumpulin lagi kayak waktu itu. Ibu nggak mau ngasih nilai meskipun satu poin!"
Ya Allah, udah su'uzhon duluan. Sabar, sabar, demi masa depan. Rangga menghela napas.
"Bukan, Bu. Saya mau menawari untuk membawakan buku. Kasihan sekretaris kelas kan cewek. Ini bukunya berat."
Bu Ghaida sempat menatap Rangga dengan kerutan di dahinya. Aneh. Tumben. "O—oh, ya udah, silakan."
Selama berjalan ke ruang guru, Bu Ghaida menatap punggung Rangga yang berjalan mendahuluinya. Apa Rangga sebelumnya berulah dan takut ketahuan makanya ngerayu pake ini?
Setelah Rangga menaruh tumpukan buku di atas meja yang terletak di ujung ruang guru, dia membungkuk ke arah Bu Ghaida. "Saya permisi mau istirahat, Bu."
"O—oh iya, iya. Makasih ya, Rangga."
Aneh.
***
Saat Rangga sedang menyantap nasi goreng bersama Pohan dan Rois di bawah pohon, Alano datang dengan di belakangnya ibu kantin membawa nampan berisi empat es jeruk.
"Woy!" Alano menunjuk ke arah petugas kebersihan sekolah yang sedang menyapu daun-daun kering di lapangan.
"Jangan gila deh lo! Gue laper, oon! Dan juga gue kepengen es jeruknya!"
"Gue bakal ngasih lo segalon es jeruk! Buruan! Keburu Pak Endang selesai nyapu!" Alano menendang kaki Rangga.
"Jangan ada yang makan nasi goreng gue." Rangga mengangkat piring nasi gorengnya, "Puh, puh! Udah gue ludahin pokoknya."
Pohan dan Rois nyaris muntah melihat adegan itu. Namun hanya sesaat, karena mereka tetap melanjutkan santapan.
Alano bagaikan bos besar sedang memantau budak yang menyapu sambil mengelap keringat. Setelah Rangga mengambil alih sapu dari Pak Endang, pria paruh baya itu segera berpamitan untuk bersantai sambil menyeruput kopi sebelum membersihkan kamar mandi.
Bukan hanya menolong Pak Endang, Alano sampai meminta Elora yang merupakan anggota Rohis untuk menyelipkan Rangga di jadwal imam salat duha.
"Gila lo! Tajwid gue masih berantakan juga!" sembur Rangga.
"Lo masih mending, pe'a! Gue kan pernah denger lo ngaji waktu di majelis taklim. Lo nggak tahu si Oji anak rohis sok alim itu? Dandanannya aja kayak akhi-akhi, tapi bacaannya merinding gue. Bukan karena bagus, tapi suaranya udah kayak kakek-kakek bentar lagi ketemu ajalnya!"
Seketika Rangga berubah menjadi cowok alim nan saleh. Ternyata Rangga memang bukan bad boy.
Hai, readers! Maaf ya kalau jarang update akhir-akhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangga Bukan Bad Boy
Teen FictionRangga, bocah Kampung Utan Lestari. Hobinya main catur bareng gank bapack-bapack. Awalnya niat Rangga bergabung dengan gank bapack-bapack, karena ingin pedekate dengan anaknya Baehaqi, Nadzirah. Tapi Nadzirah menolaknya dengan alasan Rangga terlalu...