[ Yang mau bacaan ringan, silahkan mendekat ]
Ramadan, bulan suci yang begitu banyak dilimpahi oleh rahmat dan kasih sayang-Nya, siapa sangka juga membawa berkah cinta untuk Haura Insiyyah.
Berawal dari beberapa insiden di sebuah masjid ketika akan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mentari telah menampakkan diri setinggi galah, sehingga sengatannya mampu menelusup salah satu jendela kamar perumahan berdesain green minimalis yang terletak di Ibu Kota Jakarta. Dalam bangunan dua lantai estetis itu, seorang gadis masih anteng dalam gulungan selimut berbahan dasar wol. Kilauan sinar tengah ramai menyoroti wajahnya. Namun hal itu tak kunjung membuat sang empu tergugah.
Jangan heran. Bahkan bila ada gempa bumi sekalipun sepertinya masih belum cukup berhasil membangunkan makhluk bernama Insi yang tidurnya bak orang tak bernyawa. Kecuali....
"INSI!! BANGUN!!!"
Alarm kematian Insi sudah berbunyi. Hanya dalam hitungan detik, gadis itu langsung mengerjapkan mata. Samar-samar ia melihat sosok bayang wanita. Siapa lagi jika bukan Hafshah, ibunda tercinta, sekaligus perangkat terampuh untuk membangkitkan seorang Insi dari alam bawah sadarnya.
"Berapa kali Bunda harus bilang, In? Bunda padahal udah sering banget ngingetin kamu, kalau habis salat subuh jangan tidur lagi, nggak baik."
Apa yang dikatakan Hafshah memang benar. Tidur setelah subuh hingga matahari terbit bagi mereka yang tak dalam kondisi darurat bukanlah suatu hal baik. Bahkan ada ulama yang menghukumi makruh. Jika dikerjakan memang tak akan mendapat dosa, namun bila ditinggalkan justru akan memperoleh banyak pahala. Waktu tersebut ibarat barang rampasan perang karena memiliki banyak keutamaan. Salah satunya menjadi waktu turunnya rezeki dan datangnya berkah. Akan sangat disayangkan bila menyia-nyiakan waktu yang penuh dengan kemashyuran itu bukan?
"Iya, Bun, iya ... ngerti." Dengan kedua pasang mata yang menyipit, Insi mengangguk-angguk pelan, nyawanya masih belum seutuhnya terkumpul.
"Terus kenapa masih dilakuin?"
"Ngantuk, Bun." Alih-alih segera menyanggah badan, Insi malah membenahi diri akan beranjak tidur kembali.
Sontak Hafshah menghela napas. Kepalanya terasa pening. Padahal ia hanya memiliki satu anak, tetapi seperti mengurusi seribu satu anak. Justru kukang yang pemalas saja masih lebih baik dari Haura Insiyyah.
Selimut yang menutupi tubuh gadis itu akhirnya dibuka paksa Hafshah. "Bangun, atau Bunda siram air?!"
Mau tak mau, Insi pun berusaha bangkit melawan kuatnya magnet kasur. Selain takut dengan ancaman sang Bunda, ia juga takut bila semakin lama semakin memancing emosi Hafshah hanya akan membuat dirinya terkena hujan omelan yang tak akan ada hentinya.