16 | MALAM YANG TERTUNDA

1.3K 112 19
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Semakin berlalunya waktu, hawa dingin di luar pun semakin menusuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semakin berlalunya waktu, hawa dingin di luar pun semakin menusuk. Khaizan putuskan untuk mengajak Insi masuk kembali dalam kamar. Terlebih lagi, mereka harus lekas mengistirahatkan diri sebelum nantinya memulai aktivitas lagi pada esok pagi.

Mulanya Khaizan akan mematri langkah menuju ranjang. Tetapi tak jadi sebab teringat di masjid tadi ia dan Insi belum sempat melaksanakan salat sunah dua rakaat yang diperuntukkan bagi dua mempelai pengantin sehabis melangsungkan akad nikah.

"Kita salat dulu, ya?"

"Salat apa?" Insi menelan salivanya. Ia pernah mendengar sekilas tentang salat yang dilakukan sebelum memulai ibadah suami-istri.

Tangan Khaizan mengusap halus pucuk kepala Insi seraya berkata, "Salat untuk meminta perlindungan kepada Allah agar perjalanan pernikahan kita kedepannya senantiasa berlangsung harmonis dan bahagia."

Perasaan haru dan lega tercampur baur dalam hati Insi. Terharu karena mendengar penuturan manis Khaizan, lega sebab prasangkanya meleset.

Karena mengerti persiapan perempuan sedikit lama dibanding dengan laki-laki, Khaizan mempersilakan Insi mengambil wudu terlebih dahulu. Setelah sang Istri selesai, barulah giliran dia.

Sejurus kemudian, Khaizan kembali pada Insi yang tengah duduk menanti di atas sajadah. Insi melayangkan tatap, degup jantungnya menjadi tak normal kala Khaizan menyela rambut yang basah akibat baluran air suci. Sepasang mata mereka beradu pandang. Insi buru-buru membuang muka karena terpergok memandangi keindahan ciptaan Tuhan yang satu itu.

"Sabar, ya. Kita salat dulu, setelah itu silahkan kamu pandangi saya sepuasnya."

Insi terperanjat. "Apa sih, gak jelas!"

Khaizan hanya mengulum senyum, lalu segera bersiap menggelar sajadah satu langkah di depan Insi. Khaizan mulai memimpin salat. Gadis yang berdiri menjadi makmum kemudian mengikuti gerakan demi gerakan dengan penuh kekhusyukan.

Di penghujung salam, Insi kembali mengamati punggung gagah lelaki di hadapannya itu. Masih sulit dipercaya bahwa Khaizan sekarang adalah suaminya. Pasalnya, semua terasa sangat cepat. Mulai dari pertemuan yang singkat sampai pada pernikahan yang begitu mendadak. Anehnya lagi, mengapa dirinya lekas sekali mengiakan kalam takdir tanpa ada secuil drama penolakan? Tidak seperti sinema kebanyakan yang terdapat unsur tarik-ulur di antara kedua tokohnya.

Punggung yang sedari tadi Insi pantau, berbalik menghadirkan sodoran tangan. Insi lantas meraih guna mengambil keberkahan dari sang Suami. Untuk ke sekian kalinya, Khaizan membenamkan buah bibir miliknya tepat di kening Insi. Desiran hangat menggelitik perut Insi dan menghasilkan lengkung senyum tiada sirna.

"Cukup, Haura. Senyum kamu terlalu manis melebihi gula. Takutnya saya kena diabetes nanti."

Bukannya pudar, tarikan bibir Insi malah kian mengerat. Seraya menahan gejolak hati, ia menjatuhkan pukulan ke dada bidang Khaizan.

Ramadan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang