[ Yang mau bacaan ringan, silahkan mendekat ]
Ramadan, bulan suci yang begitu banyak dilimpahi oleh rahmat dan kasih sayang-Nya, siapa sangka juga membawa berkah cinta untuk Haura Insiyyah.
Berawal dari beberapa insiden di sebuah masjid ketika akan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bak disambar petir, getaran rasa sakit seolah menjalar di sekujur tubuh Insi. Gadis itu tidak menyangka dengan kenyataan yang baru saja ia dapatkan. Padahal, Insi telah mempercayakan sepenuh hatinya kepada Khaizan. Seolah mempermainkan, mengapa Khaizan setega itu pada dirinya?
Jadi ... semua itu bohong?
Pandangan Insi menyondong ke bawah. Seraya memutar ulang reka adegan yang beberapa waktu lalu baru tersimpan dalam kepalanya.
Semua omongan dan perlakuan itu bohong?
Engsel leher Khaizan berputar. Awalnya ia ingin kembali melanjutkan paparannya. Namun niat itu Khaizan urungkan sebab melihat Insi yang meneteskan air mata. Ia pun buru-buru menghampiri istrinya.
"Lho, jangan menangis. Saya belum selesai bicara, Haura."
Khaizan terlihat sangat cemas. Ia ingin menyentuh Insi, tapi sang Istri menepisnya dengan kasar.
"Tolong dengarkan penjelasan saya dulu, Haura." Khaizan berusaha membujuk. "Saya memang terpaksa, tapi bukan karena perintah dari Umi atau pun permintaan dari Eyang."
"Terus karena apa?!" tanya Insi seraya tatapannya menajam.
"Karena keinginan dari hati saya sendiri."
Insi menukikkan alis, berupaya mencerna maksud dari perkataan suaminya.
"Raga ini terpaksa menuruti apa yang menjadi keinginan jiwa. Sebab, tidak ada pilihan lain lagi untuk solusi dari persoalan hati saya yang tiba-tiba mencintai kamu, selain dengan menikahimu."
"Berarti sama aja kan, kamu gak ikhlas nikahin akunya! Semua cuma karena keterpaksaan!" seru Insi yang sebenarnya masih tak sepenuhnya mengerti.
Khaizan menggeleng kecil. Sejenak, ia mengambil napas sebelum mulai berbicara panjang lebar.
"Mungkin akan sulit dipahami. Tapi, raga itu ibarat benda mati, tak akan hidup bila bukan jiwa yang menggerakkannya. Dan unsur keterpaksaan yang saya maksud itu, karena jiwa saya yang teramat menggebu-gebu ingin memilikimu. Sehingga, mau tak mau raga saya pun harus mengikutinya."
Ledakan emosi yang Insi rasakan tadi lambat-laun mulai memudar sebab mendengar pencerahan tersebut.
"Jadi, kesimpulan dari semuanya, saya sangat senang bisa menikah denganmu. Dan saya amat bahagia karena telah berhasil membuat kamu menjadi milik saya, Haura Insiyyah," ujar Khaizan sembari memberi Insi pelukan.